Anda sering dengar kata “Marhaen”? Ya, kata “Marhaen” memang tak asing lagi di telinga orang-orang Indonesia. Kita sering menemukan kata Marhaen dalam buku-buku sejarah dan politik di Indonesia. Selain itu, ada sejumlah gerakan politik, baik partai maupun organisasi massa, yang gandrung menggunakan kata “marhaen”. Kata marhaen sudah dipergunakan secara luas. Media massa mainstream sering menggunakan kata “marhaen” merujuk pada petani. Ada juga yang mempersamakan marhaen dengan “wong cilik”. Sedangkan beberapa pihak lain menyebut kata Marhaen sinonim dengan kata “Proletar”. Yang terjadi, seakan-akan istilah marhaen ini tidak punya defenisi ketat. Akhirnya, penggunaannya pun bisa sangat bebas. Saya kira, marhaen adalah sebuah istilah yang punya kategori-kategori tertentu. Dengan begitu, ia tidak bisa dipergunakan secara bebas. Asal usul kata Marhaen Kata Marhaen merujuk pada Bung Karno. Penuturan sejarah menyebutkan, Bung Karno-lah yang menemukan perkataan ini pertama kali. Dia pula yang paling berkontribusi mengangkat istilah ini masuk dalam gelanggang politik. Baiklah, kita lihat akar historisnya. Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu terjadi kira-kira tahun 1921. Alkisah, Soekarno sudah lama merenungi, atau lebih tepatnya berusaha memahami, tentang klas-klas dalam masyarakat Indonesia. Saat itu, Ia sedang bergumul dengan persoalan-persoalan teoritik. Akhirnya, pada suatu pagi, Bung Karno memilih mendayung sepeda tanpa tujuan. Mungkin sekedar “jalan-jalan”. Saat itu, Bung Karno tinggal di kota Bandung. Nah, ia sedang jalan-jalan ke bagian selatan kota nan cantik itu. Nah, sesuai penuturan Bung Karno, Bandung selatan itu dikenal sebagai kawasan pertanian. Tiap-tiap petani mengerjakan sawahnya sendiri. Luasnya tidak melebihi dari sepertiga hektar. Ini menarik perhatian Bung Karno. Ia mendatangi salah seorang dari petani itu. Terjadilah dialog dengan menggunakan bahasa Sunda. Pendek kata, dari dialog itu Soekarno menyimpulkan: petani itu mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), menggunakan perkakas kerja sendiri, hasilnya hanya untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga sendiri (tidak ada kelebihan untuk dijual), tidak mempekerjakan tenaga orang lain, dan punya rumah berbentuk gubuk yang dipunyai sendiri. Nama petani itu adalah Marhaen. Sama seperti nama Jones atau Smith di Eropa, kata Bung Karno. Di situlah Bung Karno menemukan ilham (petunjuk): menggunakan nama Marhaen untuk menamai semua orang Indonesia yang senasib dengan petani bernama Marhaen itu. Perlu diingat, Soekarno saat itu sudah aktif di pergerakan. Di Bandung, ia menjadi bagian dari kelompok diskusi “Algemene Studie Club”. Sejak itu, Soekarno mulai menggunakan istilah Marhaen dalam diskursus klas atau susunan sosial masyarakat Indonesia. Tetapi istilah itu tidak sempit merujuk ke petani saja. Masih di buku yang sama, Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan. Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme. Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia. Defenisi Marhaen Istilah Marhaen tidaklah jatuh dari langit sebagai sebuah ilham. Ia merupakan hasil pergumulan teoritis dan observasi. Dan, saya kira, teori ini terus mengalami pengembangan dan penyimpulan-penyimpulan. Sekarang, kita ke pertanyaan: apa itu “Marhaen”? Di atas kita sudah menemukan kategori-kategori marhaen: pertama, ia merupakan pemilik produksi kecil. Kedua, ia tidak menyewa atau mempekerjajakan orang lain. Alat produksi itu dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga). Ketiga, ia tidak punya majikan. Keempat, hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Kadang hasil produksinya pas-pasan. Singkat kata, Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil; seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Dalam terminologi marxis, ini mungkin sepadan dengan istilah “borjuis kecil”. Namun, Soekarno memberi penekanan pada istilah marhaen ini dengan perkataan “kaum melarat Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil—mungkin mirip dengan borjuis kecil—tetapi ia hidup sangat melarat. Dengan demikian, istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, Soekarno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya. Saya kira, pengembangan ini tak lebih dari sebuah kebutuhan politik saat itu, yakni menyatukan seluruh kaum tertindas Indonesia ke dalam sebuah persatuan revolusioner atau sering disebut “sammenbundeling van alle revolutionaire krachten”. Dasar Teoritis Menurut bung Karno, istilah proletar—yang populer di Eropa—tidak tepat untuk menjelaskan kategori-kategori yang disebut marhaen itu. sebab, bagi Soekarno, istilah proletar sudah jelas: orang yang tidak punya hasil produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan. Dan ia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya itu. Berbeda kan? Nah, di era Bung Karno itu, proletar memang sudah ada. Soekarno juga mengakui hal itu. Hanya saja, bagi Soekarno, bagian terbesar dari kaum tertindas Indonesia bukan proletar, melainkan yang masuk kategori Marhaen itu. Kenapa bisa demikian? Ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia. Kata Soekarno, kapitalisme di Indonesia itu, yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, punya kekhususan. Apa kekhususannya? Ketika Belanda hendak menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di Indonesia, negeri kincir angin itu masihlah terbelakang. Tan Malaka menyebutnya “negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.” Jadi, belanda sendiri belum merupakan negara industrialis saat itu. Sangat berbeda dengan Inggris, misalnya, yang sudah berkembang pesat sejak mengalami revolusi industri. Kolonialisme ala Belanda ini membawa dampak. Belanda datang ke Indonesia berlagak bak saudagar. Apa yang terjadi? untuk memaksakan monopolinya di Indonesia, VOC melakukan pemaksaan dan perampasan. Mirip dengan akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis. Merampas barang dagangan—khususnya rempah-rempah–dan kemudian di jual di pasar internasional. Di jaman cultural stelsel tetap saja begitu. Hanya saja, di sini kapitalis Belanda sudah mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Itulah mengapa Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai “finance-capital”. Namun, sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor pertanian/perkebunan. Sebagian besar kapital Belanda itu—hampir 75%, kata Soekarno—hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya. Di Hindia-Belanda (Indonesia), kata Soekarno, yang dominan adalah kapitalisme pertanian. Perkembangan kapitalisme yang demikian, kata Bung Karno, tidak menghasilkan proletar murni. Yang terjadi, kapitalisme pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan kaum tani yang melarat. Sudah begitu, kolonialisme Belanda tidak menghasilkan konsentrasi dan pemusatan industri modern di kota-kota. Akibatnya, kota di Indonesia tidak tumbuh sebagaimana layaknya kota-kota di Eropa. Hingga awal abad ke-20, mayoritas rakyat Indonesia, yakni 70-80%, masih tinggal di daerah pedesaan. Ini berbeda dengan di eropa. Eropa benar-benar terindustrialisasi. Terjadi konsentrasi dan pemusatan produksi di kota-kota. Ini menghasilkan kaum proletar 100% (murni). Bahkan, klas proletar tumbuh menjadi bagian terbesar di dalam masyarakat. Sudah begitu, kata Bung Karno, hasil produksi onderneming itu dijual di eropa. Akibatnya: ini uang bekerja di Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia, dibawa ke negeri Belanda untuk dijual di eropa, mendapat untung di eropa, untung itu dibawa lagi ke Indonesia, ditanam lagi Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia..dan seterusnya. Karena kapital Belanda itu orientasinya ekspor alias bergantung pada pasar eropa, maka politik kolonial Belanda di Indonesia tak berkepentingan untuk meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. Karena itu, tidak pula berkepentingan meningkatkan pengetahuan rakyat Indonesia. Ini berbeda sekali dengan kolonialisme Inggris di India, misalnya. Kapitalisme inggris, kata Bung Karno, lebih banyak ke perdagangan dan pengambilan bahan baku. Imperialisme dagang ini memerlukan pasar. Maka, imperialisme Inggris di India berkepentingan untuk tidak membunuh daya beli rakyat India. Imperialisme Inggris juga membiarkan berdirinya sekolah-sekolah dan Universitas. Lahirlah nama besar: Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye. Kepeloporan Klas Proletar Bagi saya, pengidentifikasian marhaen dalam susunan masyarakat Indonesia tak lebih dari upaya Bung Karno untuk menarik mayoritas rakyat Indonesia untuk terjun dalam perjuangan anti-kolonial dan menuju sosialisme. Proyek ini, bagi saya, sama saja ketika Mao Tse Tung di Tiongkok melihat arti penting atau signifikansi kaum tani. Atau, sekarang ini, kaum kiri Amerika Latin melihat signifikansi dari apa yang disebut “masyarakat asli/pribumi” (indigenous peoples). Di sini, Bung Karno menjawab problem kekhususan masyarakat Indonesia. Ia menggunakan analisa klas—tentu saja dari analisa Marxisme—dengan menerapkannya dalam konteks Indonesia. jadi, Soekarno tidak dogmatis. Meski begitu, dalam proyek sosialismenya, Soekarno tetap mempercayakan klas proletar sebagai klas pelopor. Ini sangat gamblang pada penjelasannya sebagai berikut: kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Bung Karno sendiri mengakui keterbelakangan kaum tani. Kita juga bisa melihat penjelasan Bung Karno soal kaum tani sebagai berikut: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula! Tetapi, sekalipun begitu, Soekarno tidak mengabaikan peranan petani. Ia justru melihat signifikansi kaum tani melarat ini, bersama dengan pemilik produksi kecil melarat lainnya, sebagai kekuatan besar dalam revolusi. Sekalipun pimpinan revolusi diletakkan di pundak kaum proletar. Karena itu, Bung Karno menyadari, perjuangan kaum marhaen di Indonesia tidak akan berjalan sukses kalau tidak menghimpun kaum buruh. Soekarno mengatakan, “pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani.” Bagaimana dengan sekarang? Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di negara-negara dunia ketiga lainnya, tidak mengarah pada “negara industri modern”. Yang terjadi, neoliberalisme justru menciptakan fenomena “deindustrialisasi”. Di akhir kekuasaan orde baru, struktur industri kita menghasilkan kenyataan berikut: pabrik-pabrik yang mempekerjakan 500 orang atau lebih hanya menyerap sepertiga dari total tenaga kerja. Sedangkan dua pertiganya bekerja di industri-industri skala menengah (20-99 pekerja), skala kecil (5-19 pekerja), dan rumah tangga (1-4 pekerja). Juga, kalau kita melihat data BPS, jumlah keseluruhan unit usaha di Indonesia mencapai 51,262 juta. Dari total unit usaha tersebut, terdapat 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 usaha kecil (1,01%), 39.657 usaha menengah (0,08%) dan hanya 4.463 usaha berskala besar (0,01%). Artinya, 99,99% usaha di Indonesia itu masuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tidak bisa dipungkiri, perkembangan kapitalisme di Indonesia meningkatkan apa yang disebut sektor informal. Statistik resmi menyebut angka pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 70%. Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima, perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem). Artinya, mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi kecil. Dan, sebagian besar mereka itu, menurut saya, adalah orang-orang yang membuka usaha sekedar untuk survive atau bertahan hidup dari gempuran neoliberal. Dengan demikian, istilah marhaen Bung Karno masih relevan untuk sekarang. Ia masih ampuh sebagai alat analis klas terhadap susunan sosial masyarakat di Indonesia. Ia juga masih efektif sebagai teori politik dalam kerangka menarik partisipasi mayoritas rakyat Indonesia ini, yakni kaum melarat, dalam tugas-tugas revolusi di Indonesia.
Organisasi ini bernama GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA disingkat GMNI. Organisasi ini didirikan pada tanggal 23 Maret 1954. GMNI berazaskan Marhaenisme, yaitu Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Thursday, June 30, 2016
Menyelamatkan Nasionalisme Indonesia
Memang sangat ironis menyaksikan pejabat politik, terutama yang mengaku nasionalis, ditangkap oleh KPK karena menerima suap dan terlibat korupsi. Hati kecil saya kadang menceletuk: ngakunya nasionalis, tapi kok korupsi!
Memang, di bawah langit ciptaan Tuhan ini, siapapun bisa tersangkut korupsi. Tidak peduli apa ideologi dan agamanya. Sepanjang ia memaksakan konsumsi melebihi batas kemampuannya, maka selama itu pula godaan korupsi selalu mengintai.
Namun, bagi saya, preferensi ideologi seharusnya menihilkan peluang seseorang tergoda korupsi. Apalagi jika yang bersangkutan memeluk nasionalisme. Kok bisa?
Proyek Bersama
Nasionalisme muncul di wilayah tertentu, termasuk Indonesia, tatkala penduduk yang mendiami wilayah itu mulai meraba-raba adanya ‘tujuan bersama’ dan ‘masa depan bersama’. Di dalam sejarah kita, itu terjadi kira-kira di akhir abad ke-19.
Memang sejarah penyatuan bangsa-bangsa memang banyak dibakar oleh sebuah impian, atau lebih cocok disebut “imajinasi”. Imajinasi tentang ‘tujuan bersama’ dan ‘masa depan bersama, itu pula yang membakar semangat para pemuda, yang berasal dari berbagai pulau, suku bangsa dan agama, mengikrarkan imajinasi tentang kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa: INDONESIA.
Titik tolak mereka adalah persamaan nasib: sama-sama ditindas oleh kolonialisme. Inilah yang membentuk tali-persaudaraan mereka sebagai satu bangsa. Lalu orientasi mereka adalah sebuah masa depan, yakni sebuah bangsa yang merdeka, yang menjadi basis untuk mereka bisa hidup bersama. Belakangan, melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, cita-cita hidup bersama itu dirumuskan sebagai “masyarakat adil dan makmur”.
Di sini, jika nasionalisme dimaknai sebagai proyek bersama, maka tidak ada tempatnya bagi seorang nasionalis mendahulukan kepentingan pribadi dengan menumpas kepentingan banyak orang. Dalam sejarah Republik, kaum nasionalis justru mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan banyak orang. Kita menyaksikan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain, rela dianiaya, dipenjara, dan diasingkan demi pembebasan dan kemerdekaan semua orang sebangsanya.
Di negeri ini banyak ditemukan makam pahlawan tak dikenal, yang didalamnya terbujur mati pahlawan tak dikenal, yang rela menyetorkan nyawanya bagi kemerdekaan dan pembebasan banyak orang. Mereka ini tidak dibakar oleh altruisme, melainkan oleh imajanasi.
Sementara perilaku korupsi, seperti anda tahu, merupakan ekspresi pemuasan hasrat ketamakan pribadi dengan mengorbankan banyak orang. Coba bayangkan sendiri, berapa orang yang dikorbankan oleh pejabat yang mengkorupsi anggaran pendidikan?
Korupsi jelas bertolak-belakang dengan ide tujuan bersama dan hidup bersama. Ibarat dalam sebuah rumah, tidak etis seorang penghuni rumah hidup dengan mewah dan kekenyangan sendiri, sementara penghuni yang lain kelaparan. Jika penghuni rumah mau hidup harmonis, mereka harus menerima prinsip: sama rata sama rasa.
Nasionalisme Yang Anti Penindasan
Di Eropa, nasionalisme juga dibakar oleh imajinasi. Dan imajinasi itu terkadang menyerempet rakyat jelata. Di Perancis, gagasan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) berhasil menyeret rakyat jelata, terutama kaum buruh dan tani, untuk bergabung dengan kaum berjuis dalam aliansi menggulingkan kekuasaan feodal dan melahirkan negara borjuis berbentuk Republik. Di Italia, Giuseppe Garibaldi membakar para petani miskin di Sisilia, dengan mimpi ‘Italia Bersatu’, untuk menggulingkan Dinasti Bourbon.
Sayang, setelah cita-citanya tercapai, dan kaum borjuis berada di tampuk kekuasaan baru, rakyat jelata malah tak mendapat apa-apa. Mereka tetap menjadi objek penindasan dan penghisapan. Rupanya, imajinasi yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kasus itu, kata Bung Karno, rakyat jelata hanya jadi ‘kuda tunggangan’ kaum borjuis untuk mencapai kepentingannya.
Karena itu, Bung Karno menolak mengikuti jalannya kaum nasionalis Eropa. Bung Hatta juga berpikir serupa. Mereka kemudian meramu nasionalisme jenis yang lain. Lahirnya nasionalisme yang progressif, yakni nasionalisme kiri atau kerakyatan.
Nasionalisme kiri ini jelas berpihak kepada rakyat jelata. Nasionalisme ini juga menolak borjuisme dan keningratan (feodalisme). Bung Karno kemudian menyebut nasionalismenya sebagai sosio-nasionalisme. Sedangkan Bung Hatta menyebutnya nasionalisme yang berdasarkan kedaulatan rakyat atau kerakyatan. Kendati ada beberapa hal yang berbeda, tetapi pemikiran nasionalisme kedua pendiri bangsa ini bertemu pada satu prinsip: menolak borjuisme dan keningratan.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat kedua pendiri bangsa ini merumuskan nasionalisme yang menolak borjuisme dan keningratan?
Dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka, 1933, Bung Karno memberi jawaban. Ia tidak ingin rakyat jelata alias kaum marhaen ditipu oleh kaum borjuis dan kaum ningrat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Karena itu, ia menekankan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.” Artinya, si rakyat jelata yang berkorban bagi kemerdekaan, tetapi si borjuis dan si feodal yang menikmati hasilnya.
Selain itu, Bung Karno juga sadar, jika Indonesia merdeka mengadopsi sistem borjuisme, ataupun feodalisme, maka imajinasi tentang “tujuan bersama” dan “masa depan bersama” tidak akan mungkin terwujud. Dengan demikian, cita-cita masyarakat adil dan makmur tidak akan terwujud.
Kapitalisme bertolak-belakang dengan gagasan tujuan bersama dan masa depan bersama. Menurut Bung Karno, kapitalisme adalah stelsel (sistem) pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Akibatnya, meerwaarde (nilai lebih) tidak jatuh di tangannya kaum buruh, melainkan ke tangan kaum majikan (borjuis). Keadaan itu menyebabkan kaum borjusi terus menumpuk keuntungan, sementara kaum buruh hidup sengsara.
Selain itu, dalam susunan masyarakat kapitalis, yang didalamnya dipelihara eksploitasi dan penghisapan, posisi negara tidak netral. Di sini, membenarkan tesis Karl Marx, negara menjadi instrumen klas borjuis untuk menindas kaum proletar. Dalam negara kapitalistik, represi, teror, dan kekerasan adalah inheren. Ini tidak cocok dengan masyarakat imajiner yang hidup bersama secara adil dan makmur.
Dengan demikian, kapitalisme tidak sesuai dengan cita-cita nasionalisme para pendiri bangsa. Ironisnya, banyak partai nasionalis sekarang adalah pendukung kapitalisme. Bahkan banyak kaum nasionalis berlomba-lomba menjadi kapitalis bangsa sendiri.
Menyelamatkan Nasionalisme Indonesia
Saya kira, menyelematkan nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama juga adalah pertaruhan untuk masa depan Indonesia. Nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama berarti pembebasan dan pemerdekaan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk masa depan.
Untuk itu, jika hendak mengembalikan nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama, kita perlu kembali semangat dan cita-cita yang pernah dipercikkan para pendiri bangsa. Di sini ada beberapa kesadaran yang perlu dibangun kembali. Satu, Indonesia sebagai proyek bersama haruslah menjadi wadah bagi seluruh bangsa Indonesia dari beragam suku, agama dan adat-istiadat. Semboyan ‘bhineka tunggal ika’ harus termaterialkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dua, Indonesia sebagai proyek bersama harus memberi tempat kepada seluruh rakyat Indonesia, yang berhimpun dalam berbagai kekuatan politik, untuk berbicara dan beraspirasi. Sebab, visi strategis tentang Indonesia masa depan hanya dapat diterima bersama jikalau disosialisasi dan diperdebatkan secara terbuka dan demokratis.
Tiga, Perlu untuk mulai dengan mendiskusikan problem pokok bangsa saat ini dan menjadikannya sebagai titik-tolak untuk membangun kesatuan baru di atas basis persamaan nasib. Problem pokok ini adalah persoalan yang paling mengorbankan mayoritas rakyat saat ini. Misalnya, hampir seluruh sektor rakyat–petani, buruh, kaum miskin kota, perempuan, pelajar/mahasiswa, masyarakat adat, dll–sangat dirugikan oleh eksploitasi neoliberal. Bisa saja, umpamanya, anti-neoliberalisme menjadi platform bersama untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik.
Tetap Bersinergi Membangun Komisariat Fisip USU
Dengan pekik semangat GmnI dan Marhen pemilihan kepengurusan Komisariat Gmni Fisip Usu akhirnya di tutup. berletak di padang bulan, medan sumatera utara, pemilihan struktur pengurus berjalan lancar. adapun struktur kepengurusan baru GmnI komisariat fisip usu 2016/2017 adalah sebagai berikut:
Komisaris: Sarinah Chaterine Hutabarat
Wakil Komisaris Bidang Organisasi: Bung Abd Aziz
Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi: Bung Evan Siculun (Senopen)
Wakil Komisaris Bidang Politik: Bung Frankenstein FC (Yurnawan)
Wakil Komisaris Bidang Penelitian dan Pengembangan: Bung Putra Setya Nugraha, dengan dua biro yang telah dibentuk dalam Musyangkom XXVIII, yakni:
1. Biro Kajian Sarinah dipercayakan kepada Sarinah Lestifah
2. Biro Minat dan Bakat dipercayakan kepada Bung Darwin Situmorang
Sekretaris: Sarinah Rismawati Ginting
Bendahara: Sarinah Lenni Oliiv Siahaan
Wakil Komisaris Bidang Organisasi: Bung Abd Aziz
Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi: Bung Evan Siculun (Senopen)
Wakil Komisaris Bidang Politik: Bung Frankenstein FC (Yurnawan)
Wakil Komisaris Bidang Penelitian dan Pengembangan: Bung Putra Setya Nugraha, dengan dua biro yang telah dibentuk dalam Musyangkom XXVIII, yakni:
1. Biro Kajian Sarinah dipercayakan kepada Sarinah Lestifah
2. Biro Minat dan Bakat dipercayakan kepada Bung Darwin Situmorang
Sekretaris: Sarinah Rismawati Ginting
Bendahara: Sarinah Lenni Oliiv Siahaan
dengan strukut baru ini, harapanya kedepan kepengurusan baru ini mampu bersinergi membangun komisariat fisip usu ke arah yang lebih baik demi tercapainya tujuan bersama. selain itu perlunya keingin tahuan sangatlah penting serta jangan berhenti untuk belajar lagi demi pengetahuan yang lebih untuk komisariat kedepannya.
Akhir kata kami dari Demisioner GmnI Fisip Usu 2015/2016 mengucapkan selamat atas terbentuknya kepengurusan baru Komisariat Fisip USU 2016/2017.
GmnI Jaya!!
Marhaen Menang!!!
Sunday, June 26, 2016
Sajak-Sajak Gita Nadia II
“SAYANG
MARI”
Oleh: Gita Nadia PutribrTarigan
Sayang….
mari menari dihening kota…..
Biarkan
kepulan asap membusukkan rongga dada
Sayang….
Mari menari dihening kota
Biarkan
para binatang menggerogoti lunaknya daging kita
Sayang…..
mari menari di hening kota
Abaikan
sumpah serapah sebungkus nasi
Sayang…..
mari menari di hening kota
Lupakan
para bocah pengais sampah
Sayang…..
mari menari di hening kota
Nikmati
alunan koplo yang memabukkan jiwa
Sayang…..
mari menari di hening kota
Biarkan
hati membusuk dalam sukma
Sayang….
mari menari di hening kota
Biar
mentari membara membakar luka
Sayang….
mari
menari di hening kota
Sayang….
Sayang…. Ku tunggu Kaud ihening kota
KU
TAK PEDULI
Oleh: Gita Nadia PutribrTarigan
Anak-anak merangkak, menjilat jalanan
Mengais kasih di pelupuk senja
Bercermin lupa, Berkasih Enggan
Mencari menari menghibur kelabang
Angin berlari menyeru kepedihan
Masih saja gemercik kaleng dimainkan
Meminta belas tanpa kasih
Mengukur cinta dalam rasa
Usah berpeluh lagi mengeluh
Sebab dunia pasti runtuh
Bebatan membanting nurani
Bising-bising menguku ramarah
Ku tetapTak Peduli
Biar mereka menentu Arah
PUISI UNTUK ANAK JALANAN
Oleh: Gita Nadia Putri br Tarigan
Bila
kau ragu disetiap langkahmu, coba tengok luka nanah dihati
Tetap saja mencari dalam tangis, Biarkan
angin bergambar pedih dan tak pasti
Percaya
ada senja yang menenangkan jiwa, tak perlu marah atau benci
Mengukir
terik, membaca amarah, menukik jalanan
Usah
ragu darah berpeluh, berjalan saja tanpa mengeluh
Kau
tak butuh belas kasih orang
Saat
mentari mulai pasang, mainkan gitarmu dan nyayikan lagu kepedihan
Jika
rasa tak mampu mengukur cinta, maka biar mimpi senja menemani
Rasakan
rancurnya rongga dada, Pejamkan mata bila perih
Tak
perlu marah pada raja, Karena semua juga sia
Terserah
ini jalan hidup atau hidup jalan. Percepat saja langkah,
Tak
perlu mengukir lautan, mengukur gunung, cepat laju, mainkan gitarmu!
Pentingnya Regenerasi Bagi Organisasi
Dalam
sebuah Organisasi kita sering kali mendengar istilah Regenerasi, tapi tahukah
apa itu Regenerasi? Kali ini kita akan membahas tentang Regenerasi yang
dibutuhkan dalam sebuah Organisasi.
Regenerasi dalam biologi adalah menumbuhkan kembali bagian
tubuh yang rusak atau lepas. Daya regenerasi paling besar ada pada
echinodermata dan platyhelminthes yang dimana tiap potongan tubuh dapat tumbuh
menjadi individu baru yang sempurna. Pada Anelida kemampuan itu menurun. Daya
itu tinggal sedikit dan terbatas pada bagian ujung anggota pada amfibi dan
reptil. Pada mamalia daya itu paling kecil, terbatas pada penyembuhan luka.
Regenerasi mempunyai beberapa makna, pertama pembaruan
semangat tata susila, kedua penggantian alat rusak atau hilang dengan
pembentukan jaringan sel yang baru, ketiga penggantian generasi tua kepada
generasi muda/peremajaan. Regenerasi berasal dari dua kata yaitu RE yang
artinya kembali dan GENERASI adalah angkatan. Jadi secara harfiah Regenerasi
adalah angkatan kembali, REGENERATION dalam bahasa inggris yang artinya
Kelahiran kembali , pembaharuan jiwa. Di eropa pernah terjadi masa kelahiran
kembali yang disebut Renaissance. Renaissance terjadi pada abad 15 sampai 16
masehi atau sering disebut middle age.
Regenerasi menjadi suatu kewajiban organisasi. Organisasi
hidup karena kepedulian mereka terhadap regenerasi. Pentingnya regenerasi dalam
suatu organisasi ini yaitu pengkaderan anggota agar berkualitas. Organisasi
tidak akan berjalan tanpa adanya regenerasi tapi seperti apakah generasi
tersebut berjalan. Generasi penerus organisasi dan penerus bangsa tidak lain
ditentukan dari kualitas generasi tersebut. Pada saat ini banyak sekali
generasi muda Indonesia yang bagus dan berkualitas namun masih takut untuk
terjun atau muncul dalam dunia politik. Faktor salah satunya adalah generasi
muda saat ini mempunyai anggapan bahwa politik itu kotor, kejam, korupsi dan
amburadul.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kesadaran dan
tingkat partisipasi pemuda pada dunia politik disumbangkan oleh kaum muda.
Padahal kesadaran dan partisipasi pemuda dalam politik sangat penting dalam
rangka melanjutkan pembangunan bangsa yang lebih baik.
”Anak muda adalah calon pemimpin bangsa, untuk menjadi
pemimpin tidak berdasarkan umur tetapi pada kemauan, kemampuan dan kesempatan.
Niat tersebut harus ditanamkan pada diri sendiri untuk tambahan semangat,” kata
Hendi, sapaan Hendrar Prihadi.
Remaja – remaja Indonesia pada saat ini sebagai generasi
muda yang selanjutnya yang akan meneruskan cita-cita sebuah bangsa, untuk
memimpin dan mengatur sebuah Negara, haruslah memiliki kepribadian yang
baik, kecerdasan yang dilandasi dengan ilmu dan wawasan yang luas, memiliki
jiwa yang semangat, pikiran terbuka dan tujuan yang baik, berbobot dan bermanfaat
serta berjuang untuk kemajuan bangsa dan Negara. Sayangnya generasi muda
Indonesia pada saat ini telah banyak terjerumus pada dunia modernisasi dan
westernisasi sehingga melupakan adat ketimuran yang kita miliki yang di
kenal oleh Negara lain sebagai Negara yang menjunjung tinggi moral dan adat
kesopanan tapi fakta mengatakan lain. Generasi Indonesia saat ini mengalami
krisis identitas dan korban dari gaya hidup hedonisme barat. Semakin
banyak life style dari luar Negara Indonesia yang masuk semakin tidak
terkandali generasi muda Indonesia saat ini.
Jika di lihat dari latar belakang, generasi- generasi muda
saat ini merupakan korban dari budaya permisif yang tidak terikat dengan nilai
dan norma dan bisa di pastikan di antaranya adalah kurangnya pendidikan agama
dari keluarga, kurangnya perhatian, kepudulian, dan kasih saying dari
keluarga, lingkungan yang tidak mendukung, pola hidup yang terlalu bebas dan
individualisme, teman sepergaulan yang menyukai kehidupan bebas (hedonisme),
dan rapuhnya iman serta kepribadian.
SEMUT DAN KUNANG KUNANG
oleh : Sarinah Kristina Sagala
“Hoammmmm “ sisemut merah terbangun,oh..rupanya dia tertidur sepanjang malam tepat didepan jendela. Malam tadi dia menunggu kunang kunang yang selalu memberinya keceriaan,tapi kunang kunang yang penuh cahaya indah tak hadir di taman halaman,ntah terbang kemana.”Akh mungkin kunang kunang sedang menghibur semut lain”pikirnya sambil melempar senyum kelangit pagi yang cerah.
“Hmm tapi semut mana yang di hiburnya ya,bukankah aku satu satunya semut merah yang menjadi temannya ? atau dia punya teman semut yang baru?.”pertanyaan berlomba muncul dari pikiran si semut.pertanyaan pertanyaan itu membuat dia enggan bergerak dari jendela.Pandangannya menembus kaca bening mencapai taman di halaman tempat kunang kunang biasa menari.Sudah semiggu ini dia tak di situ tapi baru malam tadi si semut menunggunya.
Mungkin karena suhu terlalu panas,kunang kunang tak muncul rekanya dalam hati lagi... karena meski bisa hidup di empat musim maupun di iklim tropis kunang kunang memang lebih nyaman muncul dirawa dan hutan yang basah.karena di situ tersedia banyak makanan untuk larvanya.
Semut terus menatap ketaman,meski tak ada kunang kunang di pagi hari tapi dipelupuknya seperti melihat keindahan cahaya kunang kunang, merah pucat kuning dan hijau berpendar pendar. Semut ingat pada malam sepekan lalu berbatas jendela mereka terlibat obrolan seperti dua sahabat yang mengenal cukup lama.
“semut,Aku lagi pusing”kata kunang kunang sambil menyandarkan tubuhnya di daun jendela,
“Kenapa”jawab semut singkat
“Karena tiap malam harus bekerja mengepak sayap mengeluarkan cahayaku..”
“kunang kunang cahayamu memang sangat indah,kau berutung bisa menampakkannya setiap malam”.
“Kau harusnya bangga punya kelebihan itu” lanjut semut dengan berbinar menatap sayap kunang kunang.
“tapi aku lelah dengan rutinitas mengepak sayap”
“pastinya teman, dibalik sebuah kebanggaan memang kadang tersimpan rasa jengah”jawab semut berempati
“Kebanggaan apa ? aku Cuma kunang kunang biasa yang hidup dirawa sumpek.!”
“tapi aku tetap berusaha jadi kunang kunang produktif”.
“Nah lho ?”semut kaget dengan pernyataan kunang kunang.
“Bukan karena mau jadi hebat semut..tapi untuk bertahan hidup”jelasnya dengan setengah suara
“bertahan lelah seumur hidup kali” celutuk semut.hahhahhaaha keduanya serempak tertawa lalu serempak terdiam.
“Semut..”,panggil kunang kunang memecah diam. “aku boleh bertanya ya..kenapa kamu betah duduk di depan jendela berlama lama ?”
“Karena dari jendela aku bisa leluasa memandang dunia”
Kunang kunang kembali yang terdiam dengan pernyataan semut.
“Aku cuma semut kecil dari koloni pekerja pula.tak ada daya untuk keluar menatap langsung dunia. Hmmm ..dalam koloni sosial semutpun terbagi lagi ada koloni minor,median dan major.akulah semut kelas minor.”jelas semut setengah mengeluh
“Jadi kunang kunang, aku hanya merasa aman dan nyaman jika berada di depan jendela ini..lalu ntah kenapa bisa bertemu denganmu...hahahahhaha”
“semut, Apa kau tidak takut denganku?”
“Ya aku tau kunang kunang pemakanan serangga..tapi ntah kenapa aku mempercayaimu..mungkin karena kita sebenarnya dari jenis yang sama ya..kata ilmiahnya dari kelas insecta,hahhahahahhaha”
“Toh terbukti kita bisa ngobrol nyambung”jawab semut dengan nada memprovokasi.
“Semut,Sebenarnya aku mengeluarkan cahaya di malam hari bukan untuk menghiburmu tapi menggunakan cahaya itu untuk mempertahankan diri,sinar itu sebagai tanda pada musuh bahwa aku bukan makanan yang lezat” jelas kunang kunang.
“Cahayaku berperan pula sebagai tanda peringatan antar sesama tentang ancaman bahaya maupun peringatan bagi serangga dan burung pemangsa agar tidak memakanku”.tambahnya lagi untuk meyakinkan semut.
“Kalo begitu aku salah faham padamu..”jawab semut cemberut
“Ya kau salah paham..tapi kesalahpahaman itu juga menyenangkanku”pungkas kunang kunang tersipu.
“Tapi bolehkan kita tetap berteman dan aku tetap merasa di hibur dengan cahayamu?”.
“Tentu karena kau semut yang narsis,,!”
“Ohya...semut, sebenarnya tak apa jika sesekali kau keluar dari batas jendela ini, langsung merasakan sinar matahari dan menari di taman. Kau tak sekecil yang kau pikirkan lho.”
Kunang kunang menatap semut sesaat lalu melanjutkan perkataannya,
“Semut,aku pernah membaca tentangmu,bahwa meski tubuhmu relatif kecil,dirimu sebenarnya termasuk hewan terkuat di dunia.Semut jantan mampu menopang beban dengan berat limapuluh kali dari berat badannya,pasti semut betina tak jauh beda,sementara gajah hanya mampu menopang beban dengan berat dua kali lipat dari badannya sendiri !”
Hahahahhaha keduanya tertawa.
“sudah hampir pagi,istirahatlah sebentar lagi burung burung akan keluar dari sarangnya..mereka akan memakanmu”.salam semut menutup percakapan
“Selamat pagi semut” lalu kunang kunang terbang entah kemana.....
Matahari yang kian tinggi mulai memanaskan Pagi, Lalu semut memberanikan diri berjalan ketaman dan menemukan selembar daun nangka dengan tulisan kecil yang terjatuh dan mengering ” aku harus pergi tapi kamu adalah model dalam pikiranku,kamu akan selalu dalam pikiranku,permanen”.Dalam genggaman semut daun itu diremuknya menjadi remah remah.
Sambil berlalu dari taman, semut lirih berucap” selamat pagi temanku”.
Catatan : Kunang kunang adalah sejenis serangga yang dapat mengeluarkan cahaya yang jelas terlihat di malam hari,cahaya ini di hasilkan oleh “sinar dingin “yang tidak mengandung ultraviolet maupun sinar ultramerah,dengan warna merah pucat kuning atau hijau. Dalam klasifikasi ilmiah Kunang kunang termasuk dalam kelas insecta golongan lampyridae yang merupakan familia dalam ordo kumbang coleoptera. Kunang kunang dewasa hanya hidup 2-3 minggu.
Semut adalah sejenis serangga Dalam klasifikasi ilmiah semut termasuk dalam kelas insekta anggota suku formicidae bangsa hymenoptera.memiliki 12 ribu species dan sebagian besar hidup di kawasan tropika.
Saturday, June 25, 2016
MENETAPKAN MASA DEPAN GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA DI KOTA MEDAN
oleh : Bung Sam Jaya UISU
Dalam
catatan sejarah, gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan barisan yang paling
depan dalam upaya melakukan perubahan sosial. Barisan paling depan ini bukanlah
pengertian yang konyol, yang dimaksud adalah mahasiswa yang merupakan entitas
masyarakat, bangsa menjadi pelopor dalam suatu perjuangan dengan
pemikiran-pemikiran yang berkembang, maju dan memberikan solusi dari kebuntuan
yang dialami oleh masyarakat. Gerakan mahasiswa menjadi penuntun terhadap baik
dan buruknya situasi dan kondisi sosial yang ada, menjadi penuntun bagi
masyrakat untuk hidup dan berkembang serta maju dalam menapaki kehidupan yang
dijalaninya. Tentu, peran mahasiswa, kaum intelektual dimasa pra kemerdekaan
sampai pasca kemerdekaan sudah dapat diketahui dan dipahami sebagai suatu
pengetahuan bahwa begitu penting dan pokok gerakan mahasiswa. Namun, suatu
peristiwa yang tidak disangka dan tidak di duga, gerakan mahasiswa pada
1998/1999 adalah gerakan mahasiswa yang terbesar dalam upaya menggulingkan
rezim Orde Baru, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah itu,
gerakan mahasiswa tidak lagi menjelma pada kepentingan masyrakat, gerakan
mahasiswa tidak lagi bermuara pada perubahan yang sangat mendasar. Mahasiswa diwarnai
hidupnya dalam berbagai aktivitas yang orientasinya zamaniah-mengikuti
gelombang zaman tanpa perlu mengetahui, mengerti dan memahami apa maksud
lahirnya suatu zaman. Mahasiswa, sedemikian upaya dan kerja keras dari
pendahulunya untuk menjadi pelopor suatu gerakan, pelopor suatu perubahan saat
ini hanya bisa menjadi BUDAK POLITIK dari beberapa kepentingan destruktif para
pendahulunya. Mahasisswa tidak menginginkan, tidak menyenangi upaya yang
konstruktif dari pendahulunya sebab dianggap sudah usang dan tidak sesuai
dengan keinginan zaman. Akhirnya, gerakan mahasiswa yang bersumber dari
organisasi yang terstruktur dan memiliki ideologi-citacita mulia, tidak lagi
memiliki daya cipta untuk membentuk dan melaksanakan suatu agenda perubahan.
Mahasiswa
saat ini tampaknya bukanlah sebagai individu dan komunal yang begitu senang
melakukan refleksi kritis terhadap keadaannya, terhadap keadaan lingkungannya,
terhadap bangsanya. Mahasiswa semacam tidak memiliki suatu agenda, tidak
memiliki wacana dan issue-issue tentang perubahan. Mahasiswa tidak memiliki
kegelisahan yang harusnya dapat di ungkapkan dalam lapangan perjuangan yang
telah terpampang dan tersedia di depan matanya. Mahasiswa bangga menjadi BUDAK
POLITIK dan berharap karir terbebsarnya adalah menjadi CUKONG POLITIK. Tentu,
ini bukanlah keinginan mendasar ketika mahassiwa ada di Indonesia. Cita-citanya
sangat jelas yaitu menjadi IMAM POLITIK, IMAM EKONOMI, IMAM SOSIAL, IMAM
PERTAHAN DAN KEAMANAN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi,
lagi-lagi mahasiswa nalar kritisnya, daya ciptanya, Radikalnya, semangat
kepeloporannya telah sirna. Lantas, apa defenisi mahasiswa sekarang ini? Bagaimana
dengan organisasi mahasiswa saat sekarang ini? Bagaimana mereka hidup dan untuk
apa mereka hidup?
ORGANISASI
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA di KOTA MEDAN
Maksud
dari tulisan ini ialah untuk mengeluarkan sedikit kegelisahan yang ada dalam
jiwa dan pikiran saya sekalipun pendapat dari pembaca tulisan ini begitu sangat
dangkal. Akan tetapi, ini adalah daya saya, ini adalah keinginan yang tidak
boleh saya pendam dalam hati, saya pendam dan membeku dalam pikiran saya.
Dunia
saat ini bergerak dengan pesatnya, maju dan terus berkembang sesuai dengan kepentingan-kepentingan
yang ada didalamnya. Dan, mereka yang hidup adalah mereka yang kuat dan memilki
kemampuan adaptasi yang baik. Mereka yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik
adalah mereka yang sadar baik secara individu maupun berkelompok(organisasi)
bahwa jaman tidak peduli mereka akan mati atau hidup. Apakah GMNI memiliki
kesadaran demikian? Mudah mudahan demikian.
Sebagaimana
yang diketahui oleh banyak pemikir kolot, pemikir modern di dalam Komunitas
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia baik yang yang sudah purna maupun masih
aktif bahwa Indonesia saat ini berada pada situasi dan kondisi yang didalamnya
terjadi tarik menarik kepentingan dunia Internasional. Tentang geo-politik,
perang strategi untuk hidup dan bertahan hidup serta menguasai dunia menjadi
pemabahasan yang sangat massiv. Amerika, China, Eropa, Korea, Jepang dan Rusia
saat ini mencoba membangun jati dirinya masing-masing. Mereka memperkuat
internalnya dan mempersiapkan segala sesuatu yang disiapkan untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang mereka prediksi dan tidak mereka prediksi. Keberadaan
kaum pejuang-pemikir di Indonesia apakah dapat melihat secara baik, benar dan
bijaksana bagaimana posisi Indonesia dalam konteks ini. Tentu, asumsinya adalah
bahwa Indonesia hari ini berada dalam apitan perang strategi dari kekuatan
China dan Amerika. GMNI menghenuskan issue secara politik dan organisasi serta
ideologi bahwa Kapitalisme, Imperialisme, Feudalisme, liberalisme menjaadi soal
yang harus dijawab dan diselesaikan. Sebab, soal soal itu dapat kita
terjemahkan dengan issue intervensi asing diwilayah ekonomi, politik, hukum,
pertahanan dan keamanan. Namun, tidak sekalipun, baik yang purna dan aktif
berbicara serius bagaimana memperkuat Ideologi, Politik dan Organisasi GMNI itu sendiri. Ada kekhawatiran secara pribadi
dan mendasar, jangan sampai organisasi Gerakan ini menjadi HAMPA AKAN IDEOLOGI
dan tidak ada orientasi perjuangan sama sekali. Jangan sampai dalam meja-meja
perdiskusian tidak lagi membahas masalah-masalah strategis . Kita harus membangun
pengetahuan bagaimana strategi Negara, strategi pemerintah, strategi militer,
strategi ekonomi para pengusaha dan ekonom, strategi politik daripada politisi
dan partai politik, kita harus mengetahui strategi-struktur ekonomi pasar yang
sangat menyeramkan ini dan yang lebih penting lagi ialah sebagai entitas yang
kuat dan strategis kita harus memiliki dengan menetapkan strategi dan taktik
kita yang mapan dalam membangun bangsa dan negara dari Kota Medan, Sumut –Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab kita punya ideologi dan sepengetahuan saya, ideologi
adalah sumber dari sebuah strategi dan taktik.
GMNI
adalah organisasi gerakan yang di komandoi, di motori oleh mahasiswa-mahasiswa
yang berstatus kader bangsa dan telah mengalami proses belajar dan mengajar
dalam organisasi. Segala pikir, sikap dan tindakannya diharapakan bersumber dan
berdasar atas ideologi yang sudah dimiliki dan diyakini sebagai suatu kebebaran
untuk menyelamatkan rakyat yang dimiskinkan oleh sistem kapitalisme. GMNI
adalah organisasi yang suluh perjuangannya secara tegas adalah mewujudkan masyrakat
yaang adil dan makmur dengan berjuang untuk rakyat dan berjuang bersama sama
rakyat. GMNI sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan yang
berkewajiban untuk senantiasa mengorganiasikan dirinya secara terus menerus dan
mengorganisasikan rakyat berdasarkan marhaenisme. Dengan jumlah Komisariat ada
24 dan ada banyak calon komisariat yang akan berdiri. GMNI Medan adalah sebuah
potensi kekuatan nasional yang dapat dipersiapkan untuk menjalankan tugas dan
amanah revolusi. Akan tetapi, persoalannya adalah dengan adanya jumlah
komisariat yang banyak GMNI ternyata mengalami krisis yang tidak boleh di biarkan
jikalau berkeinginan GMNI sebagai organisasi yang menegaskan bahwa Marhaenisme,
Nasionalisme Indonesia masih tetap relevan dalam membangun negeri, khusunya
Sumatera Utara. Adapun krisis yang saya temukan melalui proses pengamatan dan
diskusi dengan beberapa teman dan purna GMNI, yaitu :
1. Kepemimpinan
Gerakan : GMNI adalah organisasi yang berbeda dari organisasi pada umumnya. Dia
adalah organisasi gerakan. Organisasi gerakan ini adalah organisasi yang
berfikirnya, bersikapnya, bertindaknya tersistematis, terstruktur dan terus
mengalami perkembangan dan kemajuan. Sebagai sebuah organisasi yang khas maka
kepemimpinannya pun harus khas. Saya mendapati bahwa kepemimpinan itu adalah
sikap pemimpin dan yang dipimpin dalam organisasi gerakan. Kepemimpinan ini,
dipahami bukanlah kepemimpinan yang biasa, kepemimpinan ini bersumber dari
Sukarno sebagai pemimpin yang tegas, bepengetahuan luas, mencintai rakyatnya
dan siapsedian berpikir, berjuang demi kepentingan bangsa dan negaranya. Dan,
bagi yang dipimpin pun demikian adanya. Kepemimpinan Gerakan adalah kemampuan
untuk membawa agenda agenda perjuangan di dalam organisasi dan diliuar yang
berpotensi untuk di organisasikan berdasarkan ajaran Sukarno. Namun,
kepemimpinan Sukarno itu tidak terpatrih dalam jiwa dan pikirannya GMNI *(Gambaran
Umum = perlu dikaji dan diperdebatkan)
2. Ambisi
Gerakan : kita mengetahui bagaimana Sukarno memiliki ambisi dalam setiap
gerakan yang dilakukan. Dan dia juga memiliki ambisi untuk melakukan gerakan. Ambisi
gerakan itu bila kita pahami adalah perwujudan dari pikiran dalam lapangan
perjuangan. Jika, mengamini marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan, maka
ambisi GMNI adalah untuk berjuang dengan marhaenisme itu tanpa ada tawar
menawar sama sekali. Namun, ambisi yang ada hanyalah ambisi untuk menjadi budak
politik dan ujung-ujungnya jadi cukong politik, oligarki liberal. *(Gambaran
Umum = perlu dikaji dan diperdebatkan)
3. Manajemen
Gerakan : manajemen organisasi GMNI sangat tidak terlaksana dan tidak
terkontrol sebagaimana baiknya. GMNI tidak dapat memanajemen potensi ekonomi,
potensi politik dalam tubuh keorganisasiannya. Manajemen gerakan tidak dipahami
dan tidak dilaksanakan sebagaimana kewajiban untuk membesarkan, menguatkan
organisasi di dalam dan di luar dan mendistribusikan anggota, kader disetiap
lapangan perjuangan yang ada. *(Gambaran Umum = perlu dikaji dan
diperdebatkan)
4. Politik
Gerakan : GMNI secara politik berkewajiban untuk mengorganisir berjuta-juata
kaum marhaen, kaum yang melarat agar tidak adalagi yang di hisap oleh sistem
yang kapitalistik itu. Politik Gerakan GMNI mandeg, tidak mengakar. Politiknya jauh
dari tugas-tugas yang ada di dalam marhaenisme. *(Gambaran Umum = perlu dikaji
dan diperdebatkan)
5. Ideologi
Gerakan : Marhaenisme dipelajari dalam ruang-ruang kaderi sasi hanya sebatas
pengetahuan. Namun, pengetahuan itu tidak diaktualisasikan sehingga ideologi
tidak semakin kuat. *(Gambaran Umum = perlu dikaji dan diperdebatkan)
6. Otoritas
Gerakan : GMNI memiliki kewenangan, hak untuk melaksanakan amanah penderitaan
rakyat. Akan tetapi, GMNI lagi-lagi telah mengabsenkan diri dari kenyataan yang
harus disikapi dan diperjuangkan. *(Gambaran Umum = perlu dikaji dan
diperdebatkan)
7. Etika
Gerakan : GMNI tidak lagi melihat batas batas dalam perjuangan, GMNI tidak
melihat hal-hal penting untuk disikapi. Segala sesuatunya bersumber dari
keinginan yang semu untuk sebuah kepentingan yang jau dari nilai-nilai
moralitas dalam perjuagan. Rakyat hancur lebur hidupnya dalam kepingan derita
yang nista akan tetapi tidak sedikit yang cuek dan hanya membebek pada
kepentingan zaman. *(Gambaran Umum = perlu dikaji dan diperdebatkan)
8. Nation
State (Negara Kebangsaan) : GMNI tidak lagi berbicara tentang negara kebangsaan
yang secara fholosopis, negara kebangsaan itu menghendaki adanya persatuan dan
kesatuan. GMNI yang berkewajiban untuk memperteguh, memperkuat, menjaga negara
kebangsaan ini ternyata sedikit tidak mencerminkan daya pikir, daya tindak yang
berorientasi pada persatuan dan kesatuan. *(Gambaran Umum = perlu dikaji dan
diperdebatkan)
kedelapan
point diatas adalah yang harus diperhatikan, dibahas dan dilaksanakan apabila
GMNI Medan ingin menjadi organisasi seperti yang diharapkan dan dicita-citakan.
Selain itu, baik yang purna dan aktif, kita harus mengetahui tentang MEKANISME
PENGHANCURAN GMNI Medan yang saat ini sedang berjalan. Saya memahami benar,
bahwa GMNI adalah satu-satu nya organisasi yang secara terang-terangan
menjadikan Marhaenisme-ajaran Sukarno sebagai Asas perjuangannya. Banyak organisasi
yang menjadikan ajaran bung Karno sebagai asasnya kini habis atau dihabisi oleh
kepentingan politik aliran yang menginginkan agar ajaran Sukarno tidak
berkembang dengan baik dan benar di bumi pertiwi ini. Adapun mekanisme
penghancuran GMNI ialah sebagai berikut :
1. Menjauhkan
Nasionalisme dan Patriotisme dalam jiwa dan pikiran GMNI pada saat menjalankan
tugas tugas organisasi
2. Memasukkan
ide-ide atau pemikiran tokoh-tokoh yang
dianggap bersebrangan dengan Sukarno.
3. Memanipulasi
teori ilmiah ajaran Sukarno.
4. Menciptakan
friksi dan faksi politik struktural yang tidak konstruktive
5. Pemiskinan
wacana ideologis dan strategis dalam pertemuan-pertemuan GMNI
6. Dll
MENETAPKAN
MASA DEPAN GMNI di KOTA MEDAN
Titik
tolak saya menuliskan tentang MENETAPKAN MASA DEPAN GMNI di KOTA MEDAN dengan
segala kelemahan, kekurangan dalam pikiran saya adalah umat manusia di
indonesia ini semakin banyak yang sengsara dan tertindas sebagai perangkat
penting dalam hidup dan kehidupan kita juga sedang mengalami bahaya. Hal ini
tidak bisa di diamkan begitu saja. Keputusan dan kebijakan ekonomi, politik,
pendidikan, sosial budaya , pertahanan dan keamanan harus dapat kita jamin
untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Biarpun terlihat pahit, mungkin
siapa pun diantara kita dapat menjelaskan secara terperinci tentang kesengsaran
yang tidak hilang-hilang setelah Indonesia merdeka. Akan tetapi, di luar kita
barangkali ada yang berupaya untuk menutupi fakta-fakta yang ada. Kesengsaraan,
kemiskinan menjadi bahan diskusi yang tidak ada penyelesaiaannya. Organisasi progresive
lemah dan tak berdaya menentukan dan melaksanakan sikap kritisnya. Kesengsaraan
itu banyak bentuknya dan harus diselesaikan sedemikian rupa. GMNI harus memperbaiki
dirinya sebaik-baiknya kalau tidak ingin menjadi fosil.
Untuk
itu, masa depan GMNI di Kota Medan harus kita tetapkan dengan cara-cara sebagai
berikut :
1 Melakukan
studi perilaku organisasi gerakan *(Perlu
dikembangkan bersama)
2. Menentukan
disiplin organisasi gerakan*(Perlu
dikembangkan bersama)
3. Menjelaskan
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, hubungan teori organisasi gerakan, psikologis organisasi dan perilaku organisasi gerakan *(Perlu dikembangkan bersama)
4. Membangun
skema dan kontra Skema gerakan *(Perlu
dikembangkan bersama)
5. Merevitalisasi
spesialisasi gerakan *(Perlu dikembangkan
bersama)
6. Melaksanakan
LAKKSUS (LATIHAN KEPEMIMPINAN KHUSUS) – SUKARNO *(Perlu dikembangkan bersama)
7. Menentukan
perangkat dan sistem pendukung organisasi *(Perlu
dikembangkan bersama)
Sebatas itu dulu
pengetahuan saya yang bisa disampaikan. Tentang bagaimanana kongkritnya masa
depan GMNI MEDAN itu saya yakin dan percaya akan lebih baik di bicarakan serius
oleh Purna dan Aktif GMNI di forum yang ada.
sumber: http://bungsyamgmni.blogspot.co.id/2016/06/menetapkan-masa-depan-gerakan-mahasiswa.html?spref=fb
Subscribe to:
Posts (Atom)