Memang sangat ironis menyaksikan pejabat politik, terutama yang mengaku nasionalis, ditangkap oleh KPK karena menerima suap dan terlibat korupsi. Hati kecil saya kadang menceletuk: ngakunya nasionalis, tapi kok korupsi!
Memang, di bawah langit ciptaan Tuhan ini, siapapun bisa tersangkut korupsi. Tidak peduli apa ideologi dan agamanya. Sepanjang ia memaksakan konsumsi melebihi batas kemampuannya, maka selama itu pula godaan korupsi selalu mengintai.
Namun, bagi saya, preferensi ideologi seharusnya menihilkan peluang seseorang tergoda korupsi. Apalagi jika yang bersangkutan memeluk nasionalisme. Kok bisa?
Proyek Bersama
Nasionalisme muncul di wilayah tertentu, termasuk Indonesia, tatkala penduduk yang mendiami wilayah itu mulai meraba-raba adanya ‘tujuan bersama’ dan ‘masa depan bersama’. Di dalam sejarah kita, itu terjadi kira-kira di akhir abad ke-19.
Memang sejarah penyatuan bangsa-bangsa memang banyak dibakar oleh sebuah impian, atau lebih cocok disebut “imajinasi”. Imajinasi tentang ‘tujuan bersama’ dan ‘masa depan bersama, itu pula yang membakar semangat para pemuda, yang berasal dari berbagai pulau, suku bangsa dan agama, mengikrarkan imajinasi tentang kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa: INDONESIA.
Titik tolak mereka adalah persamaan nasib: sama-sama ditindas oleh kolonialisme. Inilah yang membentuk tali-persaudaraan mereka sebagai satu bangsa. Lalu orientasi mereka adalah sebuah masa depan, yakni sebuah bangsa yang merdeka, yang menjadi basis untuk mereka bisa hidup bersama. Belakangan, melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, cita-cita hidup bersama itu dirumuskan sebagai “masyarakat adil dan makmur”.
Di sini, jika nasionalisme dimaknai sebagai proyek bersama, maka tidak ada tempatnya bagi seorang nasionalis mendahulukan kepentingan pribadi dengan menumpas kepentingan banyak orang. Dalam sejarah Republik, kaum nasionalis justru mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan banyak orang. Kita menyaksikan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain, rela dianiaya, dipenjara, dan diasingkan demi pembebasan dan kemerdekaan semua orang sebangsanya.
Di negeri ini banyak ditemukan makam pahlawan tak dikenal, yang didalamnya terbujur mati pahlawan tak dikenal, yang rela menyetorkan nyawanya bagi kemerdekaan dan pembebasan banyak orang. Mereka ini tidak dibakar oleh altruisme, melainkan oleh imajanasi.
Sementara perilaku korupsi, seperti anda tahu, merupakan ekspresi pemuasan hasrat ketamakan pribadi dengan mengorbankan banyak orang. Coba bayangkan sendiri, berapa orang yang dikorbankan oleh pejabat yang mengkorupsi anggaran pendidikan?
Korupsi jelas bertolak-belakang dengan ide tujuan bersama dan hidup bersama. Ibarat dalam sebuah rumah, tidak etis seorang penghuni rumah hidup dengan mewah dan kekenyangan sendiri, sementara penghuni yang lain kelaparan. Jika penghuni rumah mau hidup harmonis, mereka harus menerima prinsip: sama rata sama rasa.
Nasionalisme Yang Anti Penindasan
Di Eropa, nasionalisme juga dibakar oleh imajinasi. Dan imajinasi itu terkadang menyerempet rakyat jelata. Di Perancis, gagasan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) berhasil menyeret rakyat jelata, terutama kaum buruh dan tani, untuk bergabung dengan kaum berjuis dalam aliansi menggulingkan kekuasaan feodal dan melahirkan negara borjuis berbentuk Republik. Di Italia, Giuseppe Garibaldi membakar para petani miskin di Sisilia, dengan mimpi ‘Italia Bersatu’, untuk menggulingkan Dinasti Bourbon.
Sayang, setelah cita-citanya tercapai, dan kaum borjuis berada di tampuk kekuasaan baru, rakyat jelata malah tak mendapat apa-apa. Mereka tetap menjadi objek penindasan dan penghisapan. Rupanya, imajinasi yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kasus itu, kata Bung Karno, rakyat jelata hanya jadi ‘kuda tunggangan’ kaum borjuis untuk mencapai kepentingannya.
Karena itu, Bung Karno menolak mengikuti jalannya kaum nasionalis Eropa. Bung Hatta juga berpikir serupa. Mereka kemudian meramu nasionalisme jenis yang lain. Lahirnya nasionalisme yang progressif, yakni nasionalisme kiri atau kerakyatan.
Nasionalisme kiri ini jelas berpihak kepada rakyat jelata. Nasionalisme ini juga menolak borjuisme dan keningratan (feodalisme). Bung Karno kemudian menyebut nasionalismenya sebagai sosio-nasionalisme. Sedangkan Bung Hatta menyebutnya nasionalisme yang berdasarkan kedaulatan rakyat atau kerakyatan. Kendati ada beberapa hal yang berbeda, tetapi pemikiran nasionalisme kedua pendiri bangsa ini bertemu pada satu prinsip: menolak borjuisme dan keningratan.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat kedua pendiri bangsa ini merumuskan nasionalisme yang menolak borjuisme dan keningratan?
Dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka, 1933, Bung Karno memberi jawaban. Ia tidak ingin rakyat jelata alias kaum marhaen ditipu oleh kaum borjuis dan kaum ningrat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Karena itu, ia menekankan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.” Artinya, si rakyat jelata yang berkorban bagi kemerdekaan, tetapi si borjuis dan si feodal yang menikmati hasilnya.
Selain itu, Bung Karno juga sadar, jika Indonesia merdeka mengadopsi sistem borjuisme, ataupun feodalisme, maka imajinasi tentang “tujuan bersama” dan “masa depan bersama” tidak akan mungkin terwujud. Dengan demikian, cita-cita masyarakat adil dan makmur tidak akan terwujud.
Kapitalisme bertolak-belakang dengan gagasan tujuan bersama dan masa depan bersama. Menurut Bung Karno, kapitalisme adalah stelsel (sistem) pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Akibatnya, meerwaarde (nilai lebih) tidak jatuh di tangannya kaum buruh, melainkan ke tangan kaum majikan (borjuis). Keadaan itu menyebabkan kaum borjusi terus menumpuk keuntungan, sementara kaum buruh hidup sengsara.
Selain itu, dalam susunan masyarakat kapitalis, yang didalamnya dipelihara eksploitasi dan penghisapan, posisi negara tidak netral. Di sini, membenarkan tesis Karl Marx, negara menjadi instrumen klas borjuis untuk menindas kaum proletar. Dalam negara kapitalistik, represi, teror, dan kekerasan adalah inheren. Ini tidak cocok dengan masyarakat imajiner yang hidup bersama secara adil dan makmur.
Dengan demikian, kapitalisme tidak sesuai dengan cita-cita nasionalisme para pendiri bangsa. Ironisnya, banyak partai nasionalis sekarang adalah pendukung kapitalisme. Bahkan banyak kaum nasionalis berlomba-lomba menjadi kapitalis bangsa sendiri.
Menyelamatkan Nasionalisme Indonesia
Saya kira, menyelematkan nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama juga adalah pertaruhan untuk masa depan Indonesia. Nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama berarti pembebasan dan pemerdekaan seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tak hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk masa depan.
Untuk itu, jika hendak mengembalikan nasionalisme Indonesia sebagai proyek bersama, kita perlu kembali semangat dan cita-cita yang pernah dipercikkan para pendiri bangsa. Di sini ada beberapa kesadaran yang perlu dibangun kembali. Satu, Indonesia sebagai proyek bersama haruslah menjadi wadah bagi seluruh bangsa Indonesia dari beragam suku, agama dan adat-istiadat. Semboyan ‘bhineka tunggal ika’ harus termaterialkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dua, Indonesia sebagai proyek bersama harus memberi tempat kepada seluruh rakyat Indonesia, yang berhimpun dalam berbagai kekuatan politik, untuk berbicara dan beraspirasi. Sebab, visi strategis tentang Indonesia masa depan hanya dapat diterima bersama jikalau disosialisasi dan diperdebatkan secara terbuka dan demokratis.
Tiga, Perlu untuk mulai dengan mendiskusikan problem pokok bangsa saat ini dan menjadikannya sebagai titik-tolak untuk membangun kesatuan baru di atas basis persamaan nasib. Problem pokok ini adalah persoalan yang paling mengorbankan mayoritas rakyat saat ini. Misalnya, hampir seluruh sektor rakyat–petani, buruh, kaum miskin kota, perempuan, pelajar/mahasiswa, masyarakat adat, dll–sangat dirugikan oleh eksploitasi neoliberal. Bisa saja, umpamanya, anti-neoliberalisme menjadi platform bersama untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment