Salah
satu karya agung Soekarno di lapangan pemikiran adalah Marhaenisme.
Ajarannya ini bukan hanya menyuluhi gerakan pembebasan di negerinya,
Indonesia, tetapi juga di negara tetangga: Malaya (Malaysia).
Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai baru ini menggunakan marhaenisme sebagai azas politiknya. Dengan azas itu, PNI berhasil menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi hampir 90 persen rakyat Indonesia kala itu, untuk menggoyang kekuasaan kolonial.
Sejak saat itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan rakyat Indonesia. Disamping itu ada sosialisme, komunisme, dan islamisme. Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI berhasil menyebarkan faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri. Bahkan hingga ke Malaya.
Pada tahun 1930-an, organisasi nasional Malaya yang baru berdiri, Kesatuan Kaum Muda (KMM), sangat terpengaruh oleh marhaenisme. Malahan, pada tahun 1955, berdiri partai politik bernama Partai Rakyat Malaya (PRM) yang mengadopsi Marhaenisme sebagai azas partai.
Di pemilu 1955, hampir 30 persen pemilih Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai Marhaenis. Popularitas Marhaenisme memang tidak terlepas dari andil Soekarno. Melalui medium pidato, Soekarno mendidik rakyat dengan berbagai ajaran politik, termasuk marhaenisme. Ia sangat piawai menjelaskan teori yang rumit menjadi begitu sederhana.
Di Konferensi Partindo, di Mataram, tahun 1933, Soekarno menjelaskan esensi marhaenisme sebagai sebuah ajaran politik sekaligus ideologi perjuangan. Menurut dia, marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
Untuk itu, kata Soekarno, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk mencapai susunan masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara-cara revolusioner.
Bagaimana Marhaenisme mencapai tujuannya?
Marhaenisme sebetulnya disusun oleh tiga pemikiran Soekarno yang lain, yaitu analisa kelas marhaen, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Tiga komponen inilah yang membentuk ajaran Marhaenisme.
Pijakan analisa kelas Soekarno adalah marxisme. Dalam marxisme, menurut bacaan dia, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tuntutan kemajuan tenaga-tenaga produktif. Di eropa, tugas sejarah itu berada di pundak klas proletar.
Tetapi masyarakat Indonesia berbeda. Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan usaha produksi kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.
Kendati sama-sama melarat, tetapi proletar jelas berbeda dengan marhaen. Proletar adalah terminologi yang digunakan oleh Marx untuk menjelaskan sebuah kelas yang dilahirkan oleh perkembangan kapitalisme di Eropa. Marx menyebutnya ‘kelas pekerja modern’. Proletar ini dicirikan oleh: (1) mereka tidak punya alat produksi; (2) untuk bertahan hidup, mereka menjual tenaga kerjanya kepada majikan/kapitalis; dan 3) dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapatkan upah.
Sedangkan Marhaen, kendati kehidupannya melarat seperti proletar, masih punya alat produksi. Marhaen adalah nama petani yang ditemui oleh Soekarno saat melakukan risetnya di daerah Bandung Selatan tahun 1920-an. Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai prototipe dari kaum pemilik produksi kecil ini. Kategorinya pun jelas: 1) pemilik produksi kecil; mereka tidak menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri bersama anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan; dan (3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Kalau mau disederhanakan, marhaen adalah pemilik produksi kecil-kecilan, yang tidak mempekerjakan orang lain, dan hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri. Mereka meliputi petani kecil/gurem, pedagang kecil, dan produsen kecil.
Dengan analisa kelas ini, Soekarno menemukan tenaga utama untuk mendorong revolusi Indonesia, yaitu kaum marhaen. Dalam perkembangannya, istilah marhaen ini diperluas cakupannya hingga meliputi seluruh sektor rakyat jelata: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya,
Namun demikian, Soekarno tidak menampin peran kepeloporan yang dimainkan oleh proletar. Dia juga percaya bahwa takdir historis penggulingan kapitalisme berada di tangan proletar. Karena itu, dia bilang, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”
Yang umum terjadi, nasionalisme menjadi proyek untuk menyatukan semua komponen bangsa, baik kelas penindas maupun kelas tertindasnya, ke dalam proyek bersama yang abstrak: kejayaan nasional. Tetapi yang diuntungkan dari proyek ini adalah kaum borjuis nasional.
Maka sosio-nasionalisme adalah kebalikannya. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang berpihak, yakni kepada massa-rakyat. Sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme). Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu.
Atau pendek kata: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki “masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.
Untuk mencapai itu, sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-nasionalisme mempromosikan nasionalisme politik (politik nasional yang berdaulat) dan nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang berdikari). Nasionalisme politik menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik negara Republik Indonesia tidak direcoki, apalagi didikte, oleh bangsa atau kekuatan asing. Sementara nasionalisme ekonomi memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan ekonomi nasional.
Kedua, sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekan nasional hanya sebagai “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita perjuangan yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, tujuan akhir perjuangan nasional bangsa Indonesia bukanlah pada terbentuknya negara merdeka saja, melainkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Ketiga, sosio-nasionalisme mengawinkan antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Sosio-nasionalisme sejiwa dengan “social conscience of man” (budi nurani sosial manusia). Dengan begitu, sosio-nasionalisme mencegah nasionalisme Indonesia terjebak dalam nasionalisme sempit atau chauvinis. Selain itu, sosio-nasionalisme menganggap perjuangan untuk emansipasi nasional tidak terpisahkan dengan perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang adil dan beradab.
Dengan tiga hal tadi, saya kira, kontribusi sosio-nasionalisme adalah menyediakan koridor yang aman bagi perjuangan nasional Indonesia menuju cita-cita akhirnya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dengan koridor itu, perjuangan nasional Indonesia tidak berhenti pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi berlanjut hingga masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan terbentuk.
Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Menurut Soekarno, demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Tetapi kebebasan ekonomi, yang menyangkut akses terhadap sumber-sumber penghidupan, tetap berada di tangan kaum borjuis.
Akibatnya, ketika di ruang politik bisa “ikut memerintah”, bahkan bisa menjatuhkan Menteri dari jabatannya, tetapi di ruang produksi ekonomi mereka tetap saja tertindas dan terhisap. “Di dalam parlemen, di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak,” kata Soekarno.
Selain itu, kendati dikatakan semua orang setara secara politik, tetapi kenyataannya kaum borjuislah yang berjaya mengusai paling banyak kursi di parlemen. Pasalnya, untuk bertarung di pemilu, orang butuh logistik dan propaganda. Dan kaum borjuis menguasai segala-galanya: uang dan propaganda. Dengan uangnya, kaum borjuis bisa membeli suara rakyat jelata yang terjepit kemiskinan. Di samping itu, di bawah masyarakat kapitalis, kaum borjuislah yang mengusai seluruh sarana propaganda dan produksi mental.
“Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioscoop-bioscoop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai, – semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi burjuis di dalam parlemen,” kata Soekarno.
Sebagai antitesa dari demokrasi parlementer, sosio-demokrasi mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosio-demokrasi tidak hanya menjadikan kaum marhaen sebagai pemegang kekuasaan politik, tetapi juga menjamin hak seluruh rakyat dalam mengakses alat-alat produksi melalui mekanisme kepemilikan sosial/publik.
Sejiwa dengan sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi juga menegaskan keberpihakan, yakni kepada rakyat-marhaen. Secara harfiah sosio-demokrasi berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan itu, sosio-demokrasi juga menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme).
Lantas muncul pertanyaan, apa keterhubungan antara sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yakni mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur?
Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan sebuah kekuasaan politik di tangan rakyat-Marhaen. Bentuk konkretnya adalah Staat (Negara) Rakyat, dimana seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat, dan untuk rakyat. Seperti ditegaskan oleh Soekarno dalam risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Kedua, sosio-demokrasi mendorong kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Inilah pijakan bagi penerapan demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi di lapangan ekonomi, maka demokrasi di lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Sebab, ekonomi merupakan pangkal bagi kehidupan politik dan sosial-budaya. Siapa yang mengusai sumber-sumber ekonomi, maka dia pula yang berjaya di lapangan politik dan sosial-budaya.
Ketiga, dengan menyerahkan urusan ekonomi dan politik di tangan rakyat, sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antara ekonomi dan politik sebagaimana lazim terjadi di bawah kapitalisme. Urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap urusan individu semata, tetapi menjadi urusan kolektif/publik.
Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai baru ini menggunakan marhaenisme sebagai azas politiknya. Dengan azas itu, PNI berhasil menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi hampir 90 persen rakyat Indonesia kala itu, untuk menggoyang kekuasaan kolonial.
Sejak saat itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan rakyat Indonesia. Disamping itu ada sosialisme, komunisme, dan islamisme. Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI berhasil menyebarkan faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri. Bahkan hingga ke Malaya.
Pada tahun 1930-an, organisasi nasional Malaya yang baru berdiri, Kesatuan Kaum Muda (KMM), sangat terpengaruh oleh marhaenisme. Malahan, pada tahun 1955, berdiri partai politik bernama Partai Rakyat Malaya (PRM) yang mengadopsi Marhaenisme sebagai azas partai.
Di pemilu 1955, hampir 30 persen pemilih Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai Marhaenis. Popularitas Marhaenisme memang tidak terlepas dari andil Soekarno. Melalui medium pidato, Soekarno mendidik rakyat dengan berbagai ajaran politik, termasuk marhaenisme. Ia sangat piawai menjelaskan teori yang rumit menjadi begitu sederhana.
Di Konferensi Partindo, di Mataram, tahun 1933, Soekarno menjelaskan esensi marhaenisme sebagai sebuah ajaran politik sekaligus ideologi perjuangan. Menurut dia, marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
Untuk itu, kata Soekarno, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk mencapai susunan masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara-cara revolusioner.
Bagaimana Marhaenisme mencapai tujuannya?
Marhaenisme sebetulnya disusun oleh tiga pemikiran Soekarno yang lain, yaitu analisa kelas marhaen, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Tiga komponen inilah yang membentuk ajaran Marhaenisme.
/1/
Marhaenisme sebetulnya juga merupakan analisa kelas. Sebagai analisa
kelas, Marhaenisme membantu Soekarno menemukan kelas sosial yang bisa
dijadikan sebagai agen utama atau lokomotif bagi revolusi, yaitu kaum
marhaen.Pijakan analisa kelas Soekarno adalah marxisme. Dalam marxisme, menurut bacaan dia, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tuntutan kemajuan tenaga-tenaga produktif. Di eropa, tugas sejarah itu berada di pundak klas proletar.
Tetapi masyarakat Indonesia berbeda. Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan usaha produksi kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.
Kendati sama-sama melarat, tetapi proletar jelas berbeda dengan marhaen. Proletar adalah terminologi yang digunakan oleh Marx untuk menjelaskan sebuah kelas yang dilahirkan oleh perkembangan kapitalisme di Eropa. Marx menyebutnya ‘kelas pekerja modern’. Proletar ini dicirikan oleh: (1) mereka tidak punya alat produksi; (2) untuk bertahan hidup, mereka menjual tenaga kerjanya kepada majikan/kapitalis; dan 3) dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapatkan upah.
Sedangkan Marhaen, kendati kehidupannya melarat seperti proletar, masih punya alat produksi. Marhaen adalah nama petani yang ditemui oleh Soekarno saat melakukan risetnya di daerah Bandung Selatan tahun 1920-an. Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai prototipe dari kaum pemilik produksi kecil ini. Kategorinya pun jelas: 1) pemilik produksi kecil; mereka tidak menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri bersama anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan; dan (3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Kalau mau disederhanakan, marhaen adalah pemilik produksi kecil-kecilan, yang tidak mempekerjakan orang lain, dan hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri. Mereka meliputi petani kecil/gurem, pedagang kecil, dan produsen kecil.
Dengan analisa kelas ini, Soekarno menemukan tenaga utama untuk mendorong revolusi Indonesia, yaitu kaum marhaen. Dalam perkembangannya, istilah marhaen ini diperluas cakupannya hingga meliputi seluruh sektor rakyat jelata: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya,
Namun demikian, Soekarno tidak menampin peran kepeloporan yang dimainkan oleh proletar. Dia juga percaya bahwa takdir historis penggulingan kapitalisme berada di tangan proletar. Karena itu, dia bilang, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”
/2/
Pijakan marhaenisme yang kedua adalah Sosio-nasionalisme.Yang umum terjadi, nasionalisme menjadi proyek untuk menyatukan semua komponen bangsa, baik kelas penindas maupun kelas tertindasnya, ke dalam proyek bersama yang abstrak: kejayaan nasional. Tetapi yang diuntungkan dari proyek ini adalah kaum borjuis nasional.
Maka sosio-nasionalisme adalah kebalikannya. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang berpihak, yakni kepada massa-rakyat. Sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme). Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu.
Atau pendek kata: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki “masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.
Untuk mencapai itu, sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-nasionalisme mempromosikan nasionalisme politik (politik nasional yang berdaulat) dan nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang berdikari). Nasionalisme politik menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik negara Republik Indonesia tidak direcoki, apalagi didikte, oleh bangsa atau kekuatan asing. Sementara nasionalisme ekonomi memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan ekonomi nasional.
Kedua, sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekan nasional hanya sebagai “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita perjuangan yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, tujuan akhir perjuangan nasional bangsa Indonesia bukanlah pada terbentuknya negara merdeka saja, melainkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Ketiga, sosio-nasionalisme mengawinkan antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Sosio-nasionalisme sejiwa dengan “social conscience of man” (budi nurani sosial manusia). Dengan begitu, sosio-nasionalisme mencegah nasionalisme Indonesia terjebak dalam nasionalisme sempit atau chauvinis. Selain itu, sosio-nasionalisme menganggap perjuangan untuk emansipasi nasional tidak terpisahkan dengan perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang adil dan beradab.
Dengan tiga hal tadi, saya kira, kontribusi sosio-nasionalisme adalah menyediakan koridor yang aman bagi perjuangan nasional Indonesia menuju cita-cita akhirnya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dengan koridor itu, perjuangan nasional Indonesia tidak berhenti pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi berlanjut hingga masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan terbentuk.
/3/
Komponen marhaenisme yang ketiga adalah sosio-demokrasi.Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Menurut Soekarno, demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Tetapi kebebasan ekonomi, yang menyangkut akses terhadap sumber-sumber penghidupan, tetap berada di tangan kaum borjuis.
Akibatnya, ketika di ruang politik bisa “ikut memerintah”, bahkan bisa menjatuhkan Menteri dari jabatannya, tetapi di ruang produksi ekonomi mereka tetap saja tertindas dan terhisap. “Di dalam parlemen, di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak,” kata Soekarno.
Selain itu, kendati dikatakan semua orang setara secara politik, tetapi kenyataannya kaum borjuislah yang berjaya mengusai paling banyak kursi di parlemen. Pasalnya, untuk bertarung di pemilu, orang butuh logistik dan propaganda. Dan kaum borjuis menguasai segala-galanya: uang dan propaganda. Dengan uangnya, kaum borjuis bisa membeli suara rakyat jelata yang terjepit kemiskinan. Di samping itu, di bawah masyarakat kapitalis, kaum borjuislah yang mengusai seluruh sarana propaganda dan produksi mental.
“Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioscoop-bioscoop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai, – semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi burjuis di dalam parlemen,” kata Soekarno.
Sebagai antitesa dari demokrasi parlementer, sosio-demokrasi mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosio-demokrasi tidak hanya menjadikan kaum marhaen sebagai pemegang kekuasaan politik, tetapi juga menjamin hak seluruh rakyat dalam mengakses alat-alat produksi melalui mekanisme kepemilikan sosial/publik.
Sejiwa dengan sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi juga menegaskan keberpihakan, yakni kepada rakyat-marhaen. Secara harfiah sosio-demokrasi berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan itu, sosio-demokrasi juga menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme).
Lantas muncul pertanyaan, apa keterhubungan antara sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yakni mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur?
Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan sebuah kekuasaan politik di tangan rakyat-Marhaen. Bentuk konkretnya adalah Staat (Negara) Rakyat, dimana seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat, dan untuk rakyat. Seperti ditegaskan oleh Soekarno dalam risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Kedua, sosio-demokrasi mendorong kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Inilah pijakan bagi penerapan demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi di lapangan ekonomi, maka demokrasi di lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Sebab, ekonomi merupakan pangkal bagi kehidupan politik dan sosial-budaya. Siapa yang mengusai sumber-sumber ekonomi, maka dia pula yang berjaya di lapangan politik dan sosial-budaya.
Ketiga, dengan menyerahkan urusan ekonomi dan politik di tangan rakyat, sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antara ekonomi dan politik sebagaimana lazim terjadi di bawah kapitalisme. Urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap urusan individu semata, tetapi menjadi urusan kolektif/publik.
No comments:
Post a Comment