Mendengar
dan membaca pernyataan Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri soal
marxisme, saya tertawa terpingkal-pingkal. Bukan terkivlan-kivlan, loh.
Jelas sekali, Jenderal Kiki tidak tahu marxisme. Bahkan, mohon maaf, beliau belum tuntas filsafat dasar. Tidak tahu membedakan pemikiran Marx, Aristoteles, dan Plato. Malahan, Aristoteles dicapnya sebagai seorang marxis. (Lihat di sini)
Kejadian itu ada manfaatnya. Kita menjadi tahu, banyak orang yang menabuh genderang perang terhadap marxisme tetapi tidak tahu apa itu marxisme. Mereka menyalahkan dan memusuhi sesuatu yang mereka tidak ketahui.
Saya kira, Jenderal Kiki harus belajar pada Bung Hatta. Beliau bukan komunis, bahkan anti-komunis, tetapi tahu marxisme. Dia tahu, tidak semua marxis itu komunis. Dia juga tahu, menjadi marxis tidak serta membuat orang menjadi atheis. Tidak percaya?
Di risalahnya yang terkenal, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan tahun 1963, Bung Hatta bicara panjang lebar tentang pemikiran bapak marxisme sedunia, Karl Marx.
Pertama, Bung Hatta tahu garis perbedaan antara pengusung sosialisme utopis, seperti Charles Fourier dan Robert Owen, dengan sosialisme ilmiah ala Marx dan Engels.
“Sosialisme, kata Marx, bukanlah pendapat seorang pujangga yang mau memperbarui dunia, tetapi suatu kejadian yang tidak terelakkan, sebagai akibat daripada pertentangan dua kelas yang dilahirkan oleh sejarah, yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat,” terangnya.
Kedua, Bung Hatta tahu bahwa filsafat Marx, khususnya soal dialektika, banyak dipengaruhi oleh Friedrich Hegel. Tetapi, kata Hatta, Marx membalikkan Hegel.
“Apabila Hegel mengatakan bahwa segala perkembangan kejadian di dunia dipengaruhi dan ditentukan oleh idea, cipta manusia, Marx mengatakan bahwa bukan keinsyafan manusia yang menentukan keadaan sosialnya, melainkan sebaliknya, keadaan sosial yang menentukan keinsafannya,” jelas Hatta.
Jadi, Jenderal Kiki, filsuf yang mempengaruhi Karl Marx itu bernama Hegel. Satu lagi bernama Ludwig Feurbach, yang mengembangkan ajaran materialisme. Dua filsuf berkebangsaan Jerman ini berkontribusi pada lahirnya pemikiran Karl Marx: materialisme dialektika historis (MDH).
Bung Hatta juga fasih menjelaskan materialisme historis Marx. Begini penjelasannya: “cara manusia menghasilkan keperluan hidupnya menentukan jalannya penghidupan sosial, politik dan jalannya pikiran.”
Ketiga, Bung Hatta berusaha menjelaskan esensi kitabnya gerakan komunis sedunia, Manifesto Komunis. Bung Hatta menjelaskan begini: “produksi ekonomi dan struktur masyarakat setiap masa yang dilahirkannya menjadi dasar sejarah politik dan sejarah penghidupan rohani di masa itu. Karena itu, sejarah tiap-tiap masyarakat sejak lenyapnya milik bersama atas tanah sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.”
Memang, Manifesto Komunis memang dibuka dengan kesimpulan dari analisa materialisme historis, bahwa sejarah dari semua masyarakat, yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Dan perjuangan kelas inilah yang menjadi motor penggerak sejarah perkembangan masyarakat.
Selain mengulas Manifesto Komunis, Bung Hatta juga mengapresiasi karya Marx di lapangan ekonomi, Das Kapital. Dia tahu, Das Kapital memberi petunjuk untuk memahami sifat dan perkembangan kapitalisme. Bung Hatta menyebut Das Kapital sebagai karya Marx dan Engels yang monumental.
Keempat, Bung Hatta tahu bahwa marxisme melahirkan begitu banyak varian gerakan politik. Bung Hatta sendiri menyebut ada tiga garis besarnya: pertama, gerakan revisionis dan reformisme, yang dianjurkan oleh Eduard Bernstein; kedua, aliran dogmatis (masih mempertahankan ajaran Marx) tetapi cenderung moderat, yang dipimpin oleh Karl Kautsky; dan ketiga, aliran dogmatis yang menempuh jalan revolusioner, yang dipimpin oleh Lenin.
Jadi, Bung Hatta paham betul, marxisme itu melahirkan banyak gerakan politik. Marxisme-leninisme, yang menjadi basis ideologi banyak Partai Komunis, hanya satu jenis dari varian gerakan politik yang bersumber dari marxisme.
Dan, jangan dilupa, marxisme punya kontribusi besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hampir semua tokoh terkemuka pergerakan, termasuk Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dan lain-lain, dipengaruhi oleh pemikiran marxisme.
Tidak bisa dipungkiri, marxisme merupakan senjata paling ampuh untuk menguliti busuknya kolonialisme, termasuk memahami kelindan antara kolonialisme dengan kapitalisme dan imperialisme modern.
Nah, para pembuat Tap nomor XXV/MPRS/1966 masih tahu bahwa marxisme melahirkan banyak aliran. Dan Marxisme-Leninisme hanya satu aliran dalam marxisme. Karena itu, kalau anda baca dengan teliti Tap MPRS itu, yang dilarang persis hanya marxisme-leninisme. Sedangkan marxisme dan berbagai varian sosialisme tidak dilarang. Bahkan dibolehkan belajar marxisme-leninisme untuk urusan ilmiah, seperti di Universitas-Universitas.
Sayang, Orde Baru memanipulasi Tap MPRS itu, dengan melarang segala pemikiran yang berbau kiri-progressif. Termasuk melarang marhaenisme (marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia) dan teori-teori kritis lainnya.
Jelas sekali, Jenderal Kiki tidak tahu marxisme. Bahkan, mohon maaf, beliau belum tuntas filsafat dasar. Tidak tahu membedakan pemikiran Marx, Aristoteles, dan Plato. Malahan, Aristoteles dicapnya sebagai seorang marxis. (Lihat di sini)
Kejadian itu ada manfaatnya. Kita menjadi tahu, banyak orang yang menabuh genderang perang terhadap marxisme tetapi tidak tahu apa itu marxisme. Mereka menyalahkan dan memusuhi sesuatu yang mereka tidak ketahui.
Saya kira, Jenderal Kiki harus belajar pada Bung Hatta. Beliau bukan komunis, bahkan anti-komunis, tetapi tahu marxisme. Dia tahu, tidak semua marxis itu komunis. Dia juga tahu, menjadi marxis tidak serta membuat orang menjadi atheis. Tidak percaya?
Di risalahnya yang terkenal, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan tahun 1963, Bung Hatta bicara panjang lebar tentang pemikiran bapak marxisme sedunia, Karl Marx.
Pertama, Bung Hatta tahu garis perbedaan antara pengusung sosialisme utopis, seperti Charles Fourier dan Robert Owen, dengan sosialisme ilmiah ala Marx dan Engels.
“Sosialisme, kata Marx, bukanlah pendapat seorang pujangga yang mau memperbarui dunia, tetapi suatu kejadian yang tidak terelakkan, sebagai akibat daripada pertentangan dua kelas yang dilahirkan oleh sejarah, yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat,” terangnya.
Kedua, Bung Hatta tahu bahwa filsafat Marx, khususnya soal dialektika, banyak dipengaruhi oleh Friedrich Hegel. Tetapi, kata Hatta, Marx membalikkan Hegel.
“Apabila Hegel mengatakan bahwa segala perkembangan kejadian di dunia dipengaruhi dan ditentukan oleh idea, cipta manusia, Marx mengatakan bahwa bukan keinsyafan manusia yang menentukan keadaan sosialnya, melainkan sebaliknya, keadaan sosial yang menentukan keinsafannya,” jelas Hatta.
Jadi, Jenderal Kiki, filsuf yang mempengaruhi Karl Marx itu bernama Hegel. Satu lagi bernama Ludwig Feurbach, yang mengembangkan ajaran materialisme. Dua filsuf berkebangsaan Jerman ini berkontribusi pada lahirnya pemikiran Karl Marx: materialisme dialektika historis (MDH).
Bung Hatta juga fasih menjelaskan materialisme historis Marx. Begini penjelasannya: “cara manusia menghasilkan keperluan hidupnya menentukan jalannya penghidupan sosial, politik dan jalannya pikiran.”
Ketiga, Bung Hatta berusaha menjelaskan esensi kitabnya gerakan komunis sedunia, Manifesto Komunis. Bung Hatta menjelaskan begini: “produksi ekonomi dan struktur masyarakat setiap masa yang dilahirkannya menjadi dasar sejarah politik dan sejarah penghidupan rohani di masa itu. Karena itu, sejarah tiap-tiap masyarakat sejak lenyapnya milik bersama atas tanah sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.”
Memang, Manifesto Komunis memang dibuka dengan kesimpulan dari analisa materialisme historis, bahwa sejarah dari semua masyarakat, yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Dan perjuangan kelas inilah yang menjadi motor penggerak sejarah perkembangan masyarakat.
Selain mengulas Manifesto Komunis, Bung Hatta juga mengapresiasi karya Marx di lapangan ekonomi, Das Kapital. Dia tahu, Das Kapital memberi petunjuk untuk memahami sifat dan perkembangan kapitalisme. Bung Hatta menyebut Das Kapital sebagai karya Marx dan Engels yang monumental.
Keempat, Bung Hatta tahu bahwa marxisme melahirkan begitu banyak varian gerakan politik. Bung Hatta sendiri menyebut ada tiga garis besarnya: pertama, gerakan revisionis dan reformisme, yang dianjurkan oleh Eduard Bernstein; kedua, aliran dogmatis (masih mempertahankan ajaran Marx) tetapi cenderung moderat, yang dipimpin oleh Karl Kautsky; dan ketiga, aliran dogmatis yang menempuh jalan revolusioner, yang dipimpin oleh Lenin.
Jadi, Bung Hatta paham betul, marxisme itu melahirkan banyak gerakan politik. Marxisme-leninisme, yang menjadi basis ideologi banyak Partai Komunis, hanya satu jenis dari varian gerakan politik yang bersumber dari marxisme.
Dan, jangan dilupa, marxisme punya kontribusi besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hampir semua tokoh terkemuka pergerakan, termasuk Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tjokroaminoto, dan lain-lain, dipengaruhi oleh pemikiran marxisme.
Tidak bisa dipungkiri, marxisme merupakan senjata paling ampuh untuk menguliti busuknya kolonialisme, termasuk memahami kelindan antara kolonialisme dengan kapitalisme dan imperialisme modern.
Nah, para pembuat Tap nomor XXV/MPRS/1966 masih tahu bahwa marxisme melahirkan banyak aliran. Dan Marxisme-Leninisme hanya satu aliran dalam marxisme. Karena itu, kalau anda baca dengan teliti Tap MPRS itu, yang dilarang persis hanya marxisme-leninisme. Sedangkan marxisme dan berbagai varian sosialisme tidak dilarang. Bahkan dibolehkan belajar marxisme-leninisme untuk urusan ilmiah, seperti di Universitas-Universitas.
Sayang, Orde Baru memanipulasi Tap MPRS itu, dengan melarang segala pemikiran yang berbau kiri-progressif. Termasuk melarang marhaenisme (marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia) dan teori-teori kritis lainnya.
No comments:
Post a Comment