GMNI JAYA!!! MARHAEN MENANG!!!

Friday, June 17, 2016

Anomali Pencabutan Perda Bermasalah

Kamis, 16 Juni 2016 | Dibaca 331 kali

Foto/ilustrasi
Oleh: Rafyq Panjaitan
Suatu pemandangan yang aneh ketika persaingan global direspon ‘tidak dengan penguatan nasional’. Setiap negara bangsa hari ini sibuk membenahi penguatan nasionalnya masing-masing, di Indonesia malah terjadi ‘pelemahan nasional’.
Pemerintah terlihat kelabakan dalam menghadapi persaingan global, dengan mencabut 3000 perda bermasalah yang ‘dianggap’ menghambat investasi adalah cermin pemerintah tak punya ‘grand design’ dalam pembangunan ekonomi nasional.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meminta Mendagri agar selambat-lambatnya pada Juli 2016 bisa menghapus 3.000 peraturan daerah (Perda) bermasalah. Menyikapi hal itu Mendagri berjanji, menargetkan dalam setiap bulan dapat mencabut sekitar 1.000 peraturan daerah yang bermasalah dan menghambat investasi (Harian Analisa, 29 Mei 2016). Presiden Jokowi mengeluh karena saat ini Indonesia memiliki 42 ribu jenis peraturan. Dia heran karena tak melihat ada manfaat dari pembuatan puluhan ribu regulasi tersebut. Itu menjerat kita sendiri, membuat kita tak lincah dan cepat, tuturnya (Tempo.co, 30 januari 2016)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa pemerintah terburu-buru dalam mencabut perda yang menghambat investasi ? sudahkah pemerintah melakukan kajian yang mendalam terkait perda penghambat investasi ?  Diketahui tergesa-gesanya pemerintah dalam memberantas ‘penghambat’ investasi adalah mengingat telah masuknya era pasar bebas yakni MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), sehingga menilai regulasi yang rumit dan berbeli-belit akan menghambat masuknya investor.
Saya sangat tergelitik dengan bahasa Presiden Jokowi yang selalu ‘menuhankan’ investor. Apalagi perjalanan keluar negeri beliau yang tak lain dan tak bukan hanyalah untuk ‘jualan’ pada negara luar untuk mengajak berinvestasi di Indonesia. Mengapa pemerintah tidak melihat potensi dalam negeri, mengapa pemerintah tidak melirik kemampuan anak bangsa, betapa banyak hal yang bisa dilakukan untuk pembangunan ekonomi nasional jika menaruh fokus pada penguatan nasional.
Paradoks Trisakti
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo salah satu contoh perda yang dinilai menghambat investasi adalah ketika ada yang hendak membuka usaha harus ada izin prinsip, izin IMB dan izin gangguan atau Hinderordonnantie (HO). Kemudian ia menyampaikan pada bidang energi dari 200 lembar perizinan akan dipangkas menjadi 15 lembar saja.
“Kalau sebelumnya lama proses perizinan satu minggu sekarang cukup hitungan jam”. Intinya, kata dia, adalah bagaimana investasi dan perizinan semakin mudah dan mencegah adanya retribusi yang tidak perlu.
Trisakti yakni ‘berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya’ hanya menjadi bualan saja bagi rezim Jokowi-JK. Ide Trisakti Bung Karno hanya dijadikan pemanis pada masa pilpres saja, dan hari ini terbukti bahwa trisakti tersebut tak terlaksana sama sekali. Terkhusus berdikari secara ekonomi, tercatat bahwa pada rezim Jokowi-JK lah hutang luar negeri terbesar Indonesia sepanjang sejarah yakni Rp.399,10 triliun. Dan lucunya hal ini terjadi baru selama 1 tahun era kepemimpinan Jokowi berjalan.
Dalam dependency theory (teori ketergantungan) disebutkan bahwa setiap negara metropolis (maju) akan terus menancapkan dominasinya di negara-negara satelit (berkembang) dengan menawarkan piutang (pinjaman) sehingga membuat negara berkembang terus ketergantungan. Jika kembali ke awal terpilihnya Jokowi-Jk, tak berapa lama setelah beliau terpilih langsung terbang ke Tiongkok, hal ini semakin ketara melihat beberapa kebijakan Jokowi sangat dipengaruhi oleh kepentingan Tiongkok.
Diantaranya kebijakan kereta cepat Jakarta-Bandung yang memakai jasa China Railway Enginering Corp (CERC). Pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandara dan jalan sepanjang 1000 km oleh China, dll. Kembali ke masalah perda yang menghambat investasi tadi, John Perkins dalam bukunya ‘The Confession of an economic hitman’ (pengakuan bandit ekonomi) menjelaskan bahwa pada masa orde baru Indonesia dibuat liberal dan bergantung pada IMF dan World Bank adalah dengan menyuap elit orde baru untuk memuluskan regulasi.
John perkins bercerita bahwa dia pernah diutus oleh AS untuk melakukan hal yang sama di era orde lama namun beliau mentah-mentah ditolak oleh Soekarno. Pada momen itulah lahir istilah Bung Karno yaitu ‘Go to hell with your aid’.
Perkins mendatangi Bung Karno di meja kerja Bung Karno dan tanpa panjang lebar Bung Karno dengan tegas menolak tawaran-tawaran manis John Perkins. Namun naas, pada orde baru, keran investasi alias bantuan asing dibuka selebar-lebarnya oleh Soeharto dengan atas nama pembangunan.
Kita mengakui bahwa desentralisasi adalah amanat reformasi yang seharusnya dimaknai sebagai kemerdekaan daerah yang menuju pada kesejahteraan. Secara politik sebenarnya tidak ada yang dinamai sebagai otonomi daerah, setiap regulasi tetap dibawah koordinasi pusat, artinya secara politik Indonesia di era reformasi tetap sentralistik hanya saja mekanisme pemilihan pemimpin daerah yang berubah yakni dipilih langsung oleh rakyat, namun secara substansi kekuasaan pusat tetap lebih superior ketimbang daerah.
Menilik pencabutan perda bermasalah tersebut, pemerintah tak harus gegabah memutuskan untuk mencabut perda yang menghambat investasi tersebut. Bahwa penduduk asli daerah tersebutlah yang lebih paham akan kondisi daerahnya, mereka yang lebih tau soal potensi sumber daya alamnya, mereka yang lebih tau soal kebutuhan rakyatnya. Jadi, apabila regulasi dibuat untuk keuntungan daerah adalah wajar, atau menolak dengan tegas kesewenang-wenangan investor juga adalah hal yang lumrah.
Trisakti adalah suatu konsepsi yang tegas dan seharusnya menjadi ciri khas Indonesia. Trisakti tersebut juga linier dengan amanat UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi sangat sosialis. Bahwa seluruh kekayaan alam Indonesia digunakan untuk kemakmuran rakyat. Jadi, investasi jika memang hanya mengeruk SDA kita mengapa begitu didewakan ?
Ubah Paradigma
Investasi asing diharapkan mampu memberikan bantuan di beberapa masalah sosial rakyat seperti kemiskinan, pengangguran dan peningkatan perekonomian rakyat namun seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Bukan hal aneh, perusahaan asing yang dikelola oleh pihak asing maka kebijakan manajemennya sesuai dengan operasional perusahaan asing dan secara total berorientasi pada kepentingan perusahaan asing tersebut.
Beberapa anomali investasi asing yang terjadi yaitu: manajemen keuangan perusahaan asing bersifat tertutup sehingga tidak dapat diketahui perusahaan sehat atau tidak, perusahaan asing mencari keuntungan sebesar-besarnya dan keuntungannya dibawa ke negara asalnya, diskriminasi pendapatan antara pegawai asing dan pegawai lokal, perusahaan asing akan menguasai pasar lokal sehingga dikhawatirkan produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk asing dan kehilangan pasar lokal.
Serta yang paling riskan adalah sumber daya alam yang dikelola oleh asing dengan hak dan kewajiban sebagaimana diatur oleh undang-undang, sering menimbulkan dampak lingkungan dan sosial dimana perusahaan baru tersebut akan didirikan. Kita menaruh harapan pada investasi asing agar terbukanya lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran serta memperbaiki kesenjangan sosial di tengah masyarakat.
Namun seringkali perusahaan asing tetap memakai jasa pekerja dari negara asalnya dan memakai jasa pekerja pribumi hanya (maaf) diposisi rendah seperti karyawan biasa, satpam, cleaning service, penjaga parkir dll. Dengan kata lain, posisi strategis di perusahaan tetap dikuasai oleh mereka dan kita hanya menjad buruh di negeri sendiri.
Seharusnya investasi asing itu mengikuti aturan main di Indonesia. Negara yang seharusnya menjadi panglima dan kepentingan nasional harus lebih tinggi ketimbang kepentingan asing, itulah seyogyanya hakikat membolehkan investasi asing masuk.
Sangat ironi ketika investor malah mengobok-obok regulasi negara, mengoyak-ngoyak integritas pejabat kita dengan menyuap mereka agar agenda-agenda penghisapannya mulus. Negara harus berdaulat atas alamnya dan kepentingan nasionalnya. Semoga!
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU, Pendiri Komunitas Pendindas (Pena Pendidikan Indonesia Solutif)

No comments:

Post a Comment

ORGANISASI CIPAYUNG