Pada
bulan November 1947, buku karangan Bung Karno tentang perempuan sudah
naik cetak. Buku itu dikerjakan dan diterbitkan oleh Panitia Penerbitkan
Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno. Bung Karno sangat gembira dengan
penerbitan buku itu.
Buku itu merupakan kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita. Tahun 1947, di tengah kepungan dan ancaman kolonialisme, Bung Karno masih sempat-sempatnya menggelar kursus wanita. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali.
Sri Sulistywati, salah seorang aktivis perempuan di era Bung Karno, menceritakan bagaimana bung Karno sendiri menjadi pengajar di kursus itu. “Kursus wanita itu sudah mengambil tema Sarinah,” kata Sri, yang ketika itu masih anak-anak dan suka mengendap-ngendap untuk mengintip diskusi itu.
Muncul pertanyaan: Kenapa buku itu mengambil judul Sarinah? Mengapa tidak menggunakan nama tokoh perintis pergerakan perempuan Indonesia seperti Kartini, Dewi Sartika, atau Rohana Kudus. Siapa sebenarnya Sarinah ini, sampai-sampai Bung Karno memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepadanya.
Bung Karno sendiri, dalam buku “Bung Karno: penyambung lidah Rakyat”, menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno. Tetapi, kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama dengan pengertian orang di barat.
Selain mengurusi Soekarno kecil, Sarinah pula yang memberikan pendidikan budi-pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan kepada Soekarno. “Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika, Cindy Adams.
Tetapi ada juga yang meragukan Sarinah itu benar-benar ada, sebagai sebuah tokoh nyata sebagaimana diceritakan Bung Karno. Menurut mereka, seperti juga pak Marhaen yang menjadi asal muasal penemuan ideologinya, kemungkinan besar Sarinah ini adalah tokoh fiktif belaka.
Namun, pada tahun 1960-an, sebuah surat kabar pernah memperlihatkan foto Bung Karno duduk dengan seorang perempuan tua. “Perempuan yang sudah sepuh itu katanya adalah Sarinah,” kata Sri Sulistyawati, yang mengingat bahwa ia mendapat jawaban itu dari Bung Karno.
Suatu hari, ketika Sri masih bekerja sebagai wartawan yang bertugas di Istana, ia berusaha mempertanyakan perihal siapa Sarinah kepada Bung Karno. Bung Karno pun menjanjikan memberi jawaban kepada Sri suatu saat jika ada kesempatan.
Suatu hari, masih sangat pagi, ketika Bung Karno sedang menyiram taman di istana negara, Sri Sulistyawati menggunakan kesempatan untuk menagih janji Bung Karno mengenai Sarinah itu.
Menurut Bung Karno, sebagaimana dituturkan Sri Sulistyawati dalam diskusi di Berdikari Online, Sarinah adalah ibu susunya dan punya jasa dalam membesarkan Bung Karno. Lebih lanjut, Sarinah ini konon adalah istri dari penulis terkenal Belanda, Multatuli. Multatuli sendiri adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. E Douwes Dekker inilah yang menulis buku terkenal sepanjang masa, Max Havelar, yang menceritakan kejahatan kolonialisme di Indonesia.
Saat itu, Sri bekerja sebagai wartawan di Harian Ekonomi Nasional. Pemimpin redaksinya adalah Umar Said. Di sana ia aktif menjadi aktif sebagai wartawan dari tahun 1958 hingga tahun 1967. Dia sering mondar-mandir ke istana untuk mendapatkan berita.
“Saya selalu ke istana pagi-pagi sekali, ketika para pemimpin masih santai-santai. Jadi, kalau yang lain belum dapat berita, saya sudah dapat berita,” katanya. Ia selalu berusaha mengangkat reportase yang berbeda dengan koran-koran lain saat itu.
Meskipun begitu, Sri mengaku tidak punya kesempatan untuk menggali lebih banyak info dari Bung Karno mengenai Sarinah. “Karena banyak kesibukan saat itu, saya belum sempat menggali lebih jauh lagi,” katanya.
Meskipun ini tergolong informasi baru, Sri sendiri tidak mau memaksa orang untuk percaya atau tidak; bahwa Sarinah adalah istri dari Multatuli. Ia meminta kepada generasi muda, aktivis dan sejarahwan yang membuat penelitian untuk memverifikasi informasinya itu.
Buku itu merupakan kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita. Tahun 1947, di tengah kepungan dan ancaman kolonialisme, Bung Karno masih sempat-sempatnya menggelar kursus wanita. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali.
Sri Sulistywati, salah seorang aktivis perempuan di era Bung Karno, menceritakan bagaimana bung Karno sendiri menjadi pengajar di kursus itu. “Kursus wanita itu sudah mengambil tema Sarinah,” kata Sri, yang ketika itu masih anak-anak dan suka mengendap-ngendap untuk mengintip diskusi itu.
Muncul pertanyaan: Kenapa buku itu mengambil judul Sarinah? Mengapa tidak menggunakan nama tokoh perintis pergerakan perempuan Indonesia seperti Kartini, Dewi Sartika, atau Rohana Kudus. Siapa sebenarnya Sarinah ini, sampai-sampai Bung Karno memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepadanya.
Bung Karno sendiri, dalam buku “Bung Karno: penyambung lidah Rakyat”, menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno. Tetapi, kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama dengan pengertian orang di barat.
Selain mengurusi Soekarno kecil, Sarinah pula yang memberikan pendidikan budi-pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan kepada Soekarno. “Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika, Cindy Adams.
Tetapi ada juga yang meragukan Sarinah itu benar-benar ada, sebagai sebuah tokoh nyata sebagaimana diceritakan Bung Karno. Menurut mereka, seperti juga pak Marhaen yang menjadi asal muasal penemuan ideologinya, kemungkinan besar Sarinah ini adalah tokoh fiktif belaka.
Namun, pada tahun 1960-an, sebuah surat kabar pernah memperlihatkan foto Bung Karno duduk dengan seorang perempuan tua. “Perempuan yang sudah sepuh itu katanya adalah Sarinah,” kata Sri Sulistyawati, yang mengingat bahwa ia mendapat jawaban itu dari Bung Karno.
Suatu hari, ketika Sri masih bekerja sebagai wartawan yang bertugas di Istana, ia berusaha mempertanyakan perihal siapa Sarinah kepada Bung Karno. Bung Karno pun menjanjikan memberi jawaban kepada Sri suatu saat jika ada kesempatan.
Suatu hari, masih sangat pagi, ketika Bung Karno sedang menyiram taman di istana negara, Sri Sulistyawati menggunakan kesempatan untuk menagih janji Bung Karno mengenai Sarinah itu.
Menurut Bung Karno, sebagaimana dituturkan Sri Sulistyawati dalam diskusi di Berdikari Online, Sarinah adalah ibu susunya dan punya jasa dalam membesarkan Bung Karno. Lebih lanjut, Sarinah ini konon adalah istri dari penulis terkenal Belanda, Multatuli. Multatuli sendiri adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. E Douwes Dekker inilah yang menulis buku terkenal sepanjang masa, Max Havelar, yang menceritakan kejahatan kolonialisme di Indonesia.
Saat itu, Sri bekerja sebagai wartawan di Harian Ekonomi Nasional. Pemimpin redaksinya adalah Umar Said. Di sana ia aktif menjadi aktif sebagai wartawan dari tahun 1958 hingga tahun 1967. Dia sering mondar-mandir ke istana untuk mendapatkan berita.
“Saya selalu ke istana pagi-pagi sekali, ketika para pemimpin masih santai-santai. Jadi, kalau yang lain belum dapat berita, saya sudah dapat berita,” katanya. Ia selalu berusaha mengangkat reportase yang berbeda dengan koran-koran lain saat itu.
Meskipun begitu, Sri mengaku tidak punya kesempatan untuk menggali lebih banyak info dari Bung Karno mengenai Sarinah. “Karena banyak kesibukan saat itu, saya belum sempat menggali lebih jauh lagi,” katanya.
Meskipun ini tergolong informasi baru, Sri sendiri tidak mau memaksa orang untuk percaya atau tidak; bahwa Sarinah adalah istri dari Multatuli. Ia meminta kepada generasi muda, aktivis dan sejarahwan yang membuat penelitian untuk memverifikasi informasinya itu.
No comments:
Post a Comment