Pekan
lalu, Berdikari Online mengulas tentang kaum muda yang ogah bertani.
Dua hari kemudian, di Kompas.com, muncul berita berjudul “Bujuk Pemuda
Bertani Dengan Modernisasi Pertanian”.
Di berita tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono memberi solusi: modernisasi pertanian. Menurut dia, dengan modernisasi pertanian di pedesaan, maka anak-anak muda akan berminat menjadi petani.
Modernisasi pertanian memang penting dan sangat dibutuhkan. Tetapi, bagi saya, itu belum menjawab keseluruhan persoalan yang membelit sektor pertanian kita. Ada beberapa persoalan mendasar yang perlu diperhitungkan.
Pertama, aksi petani terhadap tanah semakin kecil. Ini pun ada beberapa penyebabnya, seperti luas lahan pertanian yang menyusut akibat massifnya alih-fungsi lahan, perampasan lahan untuk kepentingan investasi, dan lain-lain.
Sekarang ini, ketidakadilan dalam kepemilikan tanah juga memprihatinkan. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Selain itu, BPN juga mengungkapkan, hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Angka-angka itu menunjukkan betapa sulitnya mayoritas rakyat mengakses tanah untuk berproduksi, termasuk bertani.
Nah, kalau akses terhadap lahan makin mengecil, tentu sulit mengajak kaum muda untuk bertani. Sebab, tanah merupakan faktor produksi terpenting untuk pertanian. Kecuali kalau ada revolusi pertanian yang memungkinkan budidaya tanaman pangan tanpa menggunakan tanah. Mungkingkah? Di masa mendatang itu mungkin, tetapi untuk sekarang belum.
Kedua, untuk memajukan pertanian Indonesia yang masih terbelakang, tumpuannya bukan hanya memodernisasi alat-alat pertanian, tetapi juga tenaga kerjanya. Untuk diketahui, mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian berpendidikan minim: 32,7 persen tidak tamat SD, 42,3 persen tamat SD, dan 14,6 persen tamat SLTP. Ini yang menyebabkan proses penyerapan, adaptasi, inovasi, dan penemuan teknologi baru di sektor pertanian berjalan lambat.
Ketiga, politik harga beras kita belum berpihak kepada petani dan rakyat umumnya. Di satu sisi, harga jual gabah petani selalu rendah, tetapi harga jual beras di pasar sangat tinggi. Rantai yang panjang dari produksi, penggilingan, hingga distribusi, telah menciptakan celah bagi para pemburu rente.
Nilati Tukar Petani (NTP) selalu rendah. Penyebabnya beragam: biaya produksi yang tinggi, harga jual hasi produksi di tingkat petani yang rendah, barang konsumsi petani yang serba mahal, dan lain-lain.
Ditambah lagi, sejak satu dekade terakhir, Indonesia ikut membuka pintu bagi liberalisasi perdagangan pangan. Pasar domestik kita dibanjiri produk pangan impor. Ini yang menyebabkan produk pangan kita pelan-pelan tergilas.
Belum lagi, awal tahun ini kita memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di sisi lain, misalnya, harga beras kita adalah yang tertinggi di negara-negara ASEAN. Sudah bisa dibayangkan dampaknya bagi sektor pertanian kita.
Jadi, agar yang muda mau bertani, negara ini perlu mengoreksi politik pertaniannya. Negara harus hadir untuk menjamin akses kaum tani terhadap tanah, modal, dan teknologi pertanian. Negara juga harus hadir untuk memastikan harga produk pertanian kita bisa mensejahterakan petani.
Di berita tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono memberi solusi: modernisasi pertanian. Menurut dia, dengan modernisasi pertanian di pedesaan, maka anak-anak muda akan berminat menjadi petani.
Modernisasi pertanian memang penting dan sangat dibutuhkan. Tetapi, bagi saya, itu belum menjawab keseluruhan persoalan yang membelit sektor pertanian kita. Ada beberapa persoalan mendasar yang perlu diperhitungkan.
Pertama, aksi petani terhadap tanah semakin kecil. Ini pun ada beberapa penyebabnya, seperti luas lahan pertanian yang menyusut akibat massifnya alih-fungsi lahan, perampasan lahan untuk kepentingan investasi, dan lain-lain.
Sekarang ini, ketidakadilan dalam kepemilikan tanah juga memprihatinkan. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Selain itu, BPN juga mengungkapkan, hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Angka-angka itu menunjukkan betapa sulitnya mayoritas rakyat mengakses tanah untuk berproduksi, termasuk bertani.
Nah, kalau akses terhadap lahan makin mengecil, tentu sulit mengajak kaum muda untuk bertani. Sebab, tanah merupakan faktor produksi terpenting untuk pertanian. Kecuali kalau ada revolusi pertanian yang memungkinkan budidaya tanaman pangan tanpa menggunakan tanah. Mungkingkah? Di masa mendatang itu mungkin, tetapi untuk sekarang belum.
Kedua, untuk memajukan pertanian Indonesia yang masih terbelakang, tumpuannya bukan hanya memodernisasi alat-alat pertanian, tetapi juga tenaga kerjanya. Untuk diketahui, mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian berpendidikan minim: 32,7 persen tidak tamat SD, 42,3 persen tamat SD, dan 14,6 persen tamat SLTP. Ini yang menyebabkan proses penyerapan, adaptasi, inovasi, dan penemuan teknologi baru di sektor pertanian berjalan lambat.
Ketiga, politik harga beras kita belum berpihak kepada petani dan rakyat umumnya. Di satu sisi, harga jual gabah petani selalu rendah, tetapi harga jual beras di pasar sangat tinggi. Rantai yang panjang dari produksi, penggilingan, hingga distribusi, telah menciptakan celah bagi para pemburu rente.
Nilati Tukar Petani (NTP) selalu rendah. Penyebabnya beragam: biaya produksi yang tinggi, harga jual hasi produksi di tingkat petani yang rendah, barang konsumsi petani yang serba mahal, dan lain-lain.
Ditambah lagi, sejak satu dekade terakhir, Indonesia ikut membuka pintu bagi liberalisasi perdagangan pangan. Pasar domestik kita dibanjiri produk pangan impor. Ini yang menyebabkan produk pangan kita pelan-pelan tergilas.
Belum lagi, awal tahun ini kita memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di sisi lain, misalnya, harga beras kita adalah yang tertinggi di negara-negara ASEAN. Sudah bisa dibayangkan dampaknya bagi sektor pertanian kita.
Jadi, agar yang muda mau bertani, negara ini perlu mengoreksi politik pertaniannya. Negara harus hadir untuk menjamin akses kaum tani terhadap tanah, modal, dan teknologi pertanian. Negara juga harus hadir untuk memastikan harga produk pertanian kita bisa mensejahterakan petani.
No comments:
Post a Comment