Dalam
sepekan terakhir, propaganda anti-komunisme sedang ditiupkan sangat
kencang. Bersamaan dengan itu, sejumlah orang ditangkap, kemudian kaus
dan buku-buku ikut disita.
Tanggal 9 Mei lalu, seorang pedagang kaus di Blok M sempat ditangkap polisi karena menjual kaus grup band metal asal Jerman, Kreator, yang menyerupai gambar palu-arit.
Di hari yang sama, seorang pemuda yang tengah menonton konser musik di lapangan Saburai Bandar Lampung, Lampung, ditangkap oleh aparat Korem hanya karena mengenakan kaus bergambar palu-arit dengan tulisan “CCCP”.
Kemudian, pada 10 Mei lalu, dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Maluku Utara ditangkap karena dituduh menyebarkan komunisme di media sosial. Kemarin, Jumat (13/5), dua aktivis itu ditetapkan sebagai tersangka.
Kemudian, dalam sepekan terakhir, aparat TNI/Polri juga gencar menyita buku-buku yang dianggap berbau komunis. Lucunya, entah mengerti atau tidak, buku-buku yang mengeritik komunisme pun turut disita.
Propaganda bahaya anti-komunis ini menggelikan. Pertama, kampanye dibangun dari tudingan kosong. Tidak ada tanda-tanda kebangkitan PKI di Indonesia. Penggunaan kaus palu arit tidak identik dengan kebangkitan PKI. Seperti kaus palu-arit bertuliskan “CCCP”, itu kaus populer yang gampang didapat di pasar pakaian bekas. Desas-desus, bahwa PKI akan merayakan HUT pada 9 Mei, tidak terbukti.
Kedua, ada indikasi kuat bahwa kampanye bahaya komunis ini digerakkan oleh Jenderal-Jenderal Purnawirawan, termasuk seorang Menteri aktif, yang tidak setuju dengan ide pemerintah menyelenggarakan Simposiun 1965 pada pertengahan April lalu (baca di sini). Ini tentu sangat menggelikan.
Ketiga, proganda bahaya komunis diteriakkan ketika bangsa ini justru berhadapan dengan problem konkret di depan mata, yaitu neoliberalisme, yang telah membunuh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ironis memang, TNI dan Polri justru sibuk mengejar musuh yang tidak nyata, sementara musuh yang nyata dibiarkan merajalela menghancurkan negeri ini.
Karena itu, agar bangsa ini tidak terjebak pada komunisto-phobia, ada baiknya merenungkan pesan-pesan Bung Karno berikut ini:
Tentang komunisto-phobia:
Tanggal 9 Mei lalu, seorang pedagang kaus di Blok M sempat ditangkap polisi karena menjual kaus grup band metal asal Jerman, Kreator, yang menyerupai gambar palu-arit.
Di hari yang sama, seorang pemuda yang tengah menonton konser musik di lapangan Saburai Bandar Lampung, Lampung, ditangkap oleh aparat Korem hanya karena mengenakan kaus bergambar palu-arit dengan tulisan “CCCP”.
Kemudian, pada 10 Mei lalu, dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Maluku Utara ditangkap karena dituduh menyebarkan komunisme di media sosial. Kemarin, Jumat (13/5), dua aktivis itu ditetapkan sebagai tersangka.
Kemudian, dalam sepekan terakhir, aparat TNI/Polri juga gencar menyita buku-buku yang dianggap berbau komunis. Lucunya, entah mengerti atau tidak, buku-buku yang mengeritik komunisme pun turut disita.
Propaganda bahaya anti-komunis ini menggelikan. Pertama, kampanye dibangun dari tudingan kosong. Tidak ada tanda-tanda kebangkitan PKI di Indonesia. Penggunaan kaus palu arit tidak identik dengan kebangkitan PKI. Seperti kaus palu-arit bertuliskan “CCCP”, itu kaus populer yang gampang didapat di pasar pakaian bekas. Desas-desus, bahwa PKI akan merayakan HUT pada 9 Mei, tidak terbukti.
Kedua, ada indikasi kuat bahwa kampanye bahaya komunis ini digerakkan oleh Jenderal-Jenderal Purnawirawan, termasuk seorang Menteri aktif, yang tidak setuju dengan ide pemerintah menyelenggarakan Simposiun 1965 pada pertengahan April lalu (baca di sini). Ini tentu sangat menggelikan.
Ketiga, proganda bahaya komunis diteriakkan ketika bangsa ini justru berhadapan dengan problem konkret di depan mata, yaitu neoliberalisme, yang telah membunuh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ironis memang, TNI dan Polri justru sibuk mengejar musuh yang tidak nyata, sementara musuh yang nyata dibiarkan merajalela menghancurkan negeri ini.
Karena itu, agar bangsa ini tidak terjebak pada komunisto-phobia, ada baiknya merenungkan pesan-pesan Bung Karno berikut ini:
Tentang komunisto-phobia:
- Beberapa tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah di luar negeri, – kemudian juga meniup di angkasa kita – , apa yang dinamakan “perang dingin”. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan progresif di berbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progresif di mana-mana mulailah berjalan pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progresif mudah sekali dicap “Komunis”. Segala apa saja yang menuju kepada angan-angan baru dicap “Komunis”. Anti kolonialisme – Komunis. Anti exploitation de l’homme par l’homme – Komunis. Anti feodalisme-Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konsekwen revolusioner – Komunis. Ini banjak sekali mempengaruhi fikiran orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakun (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya. (Pidato Sukarno pada Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1960)
- Dus: Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit “takut kalau-kalau disebut kiri”, “takut kalau-kalau disebut Komunis”. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis. (Pidato Sukarno pada Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1960)
- Kalau tidak mau pada Kom, bahkan menentang kepada Kom, Komdalam arti yang tempo hari kukatakan, menghendaki suatu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de I’homme par I’homme, persama-rasa-sama-rataan politik dan ekonomi, siapa yang tidak demikian, dia tidak berpegang pada azimat Revolusi. Sebab, salah satu azimat Revolusi ini adalah Nasakom. (Pidato di HUT PERWARI, 1965)
- Ayo, terus terang ya. Anti Gestapu yang lain! Kom-Kom-Kom, saya katakan, sebagai ideologi untuk mendatangkan di sini masyarakat adil dan makmur. (Amanat Presiden Sukarno di hadapan anggota Golongan Karya Nasional, di Istana Bogor, 11 Desember 1965)
- Oleh karena itu maka saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti exploitation de I’homme par I’homme (baca: penghisapan manusia atas manusia). Pancasila adalah anti exploitation de nation par nation (penindasan bangsa atas bangsa). Karena itulah Pancasila kiri. (Pidato Sukarno di Sidang Paripurna Kabinet Dwikora, di Istana Bogor, 6 November 1965).
- Perkataan (maksudnya Pancasila) dipakai sebetulnya untuk men-demonstreer anti kepada Kom. Padahal Pancasila itu sebetulnya tidak anti Kom. Kom dalam arti ideologi sosial untuk mendatangkan di sini suatu masyarakat sosialistis. (Amanat Presiden Sukarno di hadapan anggota Golongan Karya Nasional, di Istana Bogor, 11 Desember 1965)
- Pendek kata, kalau saudara mengaku atau menamakan dirimu anak Bung Karno, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri. Ya, saya tidak mau punya anak yang tidak kiri. Kalau yang cuma mulutnya saja progresif revolusioner, tetapi di dalam hatinya sebetulnya kanan. (Amanat Presiden Sukarno di hadapan anggota Golongan Karya Nasional, di Istana Bogor, 11 Desember 1965)
- Saya di waktu yang akhir-akhir lo, di waktu-waktu yang akhir-akhir ini banyak yang menyindir-nyindir aku, mencemooh aku, bahwa aku adalah seorang marxis. Malah satu pamflet gelap mengatakan yaitu hh, ini, marxis. Padahal aku pun berulang-ulang, aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis! Malah aku berkata, Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. (Pidato Sukarno di hadapan peserta Sapta Warsa Gerakan Siswa Nasional Indonesia/GSNI, di Istora Senayan, Jakarta, 28 Februari 1966)
- Memang! Sejak saya sebagai “anak plonco” buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru H.B.S. yang berhaluan sosial-demokrat (C. Hartogh namanya), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam actieve politiek, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada fasisme. (Artikel Sukarno berjudul Menjadi Pembantu Pemandangan, 1941)
- Ayo, malahan aku sekarang berkata tanpa tedeng aling-aling, ya saya marxis. Dan ini saya katakan sejak 1928 juga, saya ini adalah nasionalis, adalah agama, adalah marxis. Ya apa tidak? Malahan saya di dalam banyak ucapan, bahkan di dalam kitab Sarinah saya terangkan, ya, sosial, saya ini sosialis; spritual, saya ini theis; nasional, saya ini nasionalis. Nah, dengan sosialis saya jelaskan saya ini marxis. Ya, saya marxis. Marxisme adalah isi dada saya. Sebagai analisator keadaan-keadaan sejarah ini. (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)
- Demikian pula aku tidak mau menutup mata bahwa golongan Kom, Masya Allah, Saudara-Saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya! Karena itu kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, kom tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, dan aku berkata, barangkali dari semua parpol-parpol, diantara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas (Nasionalis) maupun A (agamais), tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Komini, katakanlah PKI, saudara-saudara. (Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di Istora Senayan, 13 Februari 1966)
- Saya pernah mengalami. Saya sendiri lo Sauadara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, parpol lain mana ada sampai 2000 pemimpinnya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun. (Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di Istora Senayan, 13 Februari 1966)
- Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas. Kita harus adil, saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali lagi adil. (Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di Istora Senayan, 13 Februari 1966)
- Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia. (Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di Istora Senayan, 13 Februari 1966)
- Bahwa aku menganut marxisme dalam lapangan analisis. Karena itulah saya anjurkan lebih dahulu kepada anggota-anggota MPRS, kalau engkau mengambil keputusan sekedar melarang marxisme, leninisme, komunisme, saya akan ketawa. Apa yang bisa engkau larang ialah kegiatan daripada marxisme atau komunisme atau Islamisme yang merugikan Negara. (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)
- Komunisme, marxisme, sosialisme atau dengan nama apapun timbul daripada sociale verhoundingen (baca: relasi sosial ekonomi). (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)
- Tidak boleh tidak, meskipun tidak ada Muso, tidak ada Alimin, tidak ada Aidit, tidak ada Nyoto, tidak ada seorang pun yang memimpin mereka, aliran sosialisme atau komunisme atau marxisme, pasti-pasti-pasti-pasti-pasti timbul. Di mana tempatnya komunisme lahir? Di mana tempatnya marxisme lahir? Di mana tempatnya sosialisme lahir? Apakah di gedung-gedung swasta di Kebayoran? Lahirnya itu di sini, di kampung-kampung yang gubuk-gubuknya bocor. Lahirnya itu ditempat-tempat dimana Ibu-ibu tidak bisa memberi air susu cukup kepada anak-anaknya. Di mana anaknya itu telanjang, ngesot di tanah, karena tidak punya pakaian. Di situlah tempat lahirnya sosialisme atau marxisme atau komunisme. Kalau ingin menghilangkan komunisme, hilangkan ini gubuk-gubuk, ganti dengan rumah-rumah yang baik. Beri makan yang banyak, sandang-pangan yang cukup. (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)
- Pendek kata, kalau social economische verhoudingen (keadaan sosial ekonomi) kita baik, tidak bisa ini komunisme tumbuh. Tidak dengan cara menggorok orang-orang yang dinamakan komunis. (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)
No comments:
Post a Comment